Rabu, 24 Januari 2018

SKINCARE + MAKEUP

Sakura White Pinkish Radiance Ultimete Serum Garnier
DROPS OF YOUTH Liquid Peel The Body Shop
The Body Shop Drops of Youth™ Youth Bouncy Eye Mask.
Mizzu Glam Rock Aqua Foundation (Rp150.000,-)  

Eye and Lip Makeup Remover PIXY
 4.4 Product Price IDR 20,000.00

Tamagohada Ultimate Mild Peeling Make Up Remover Hada Labo 
3.8 Product Price IDR 45,000.00


Glow Tonic Pixi 
4.2 Product Price GBP 18.00

Himalayan Charcoal Purifying Glow Mask The Body Shop
4.5 Product Price IDR 329,000.00

Tea Tree Skin Clearing Toner The Body Shop
3.4 Product Price IDR 159,000.00

Tea Tree Skin Clearing Facial Wash The Body Shop
3.5 Product Price IDR 109,000.00
Wardah Exclusive Matte Lip Cream HEARBEAT DAN HONEY BEE
Rp47.000, Rp45.000-Rp46.500







RE-thinking Peran Perempuan

Perbedaan jenis kelamin yang berimplikasi pada fungsi dan peran laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak dipermasalahkan kalau memang merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan tidak ada unsur keterpaksaan dan/atau diskriminasi. Namun ketika dicermati lebih mendalam, perbedaan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini dapat menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Yakni salah satu jenis kelamin terutama yang banyak terjadi pada perempuan terabaikan hak-hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan.
 
Berkaitan dengan potensi yang dianugerahkan kepada laki-laki yang merupakan hak bagi laki-laki, maupun potensi yang dianugerahkan kepada perempuan dan menjadi hak perempuan, oleh karena itu di samping hak laki-laki harus dihormati, maka hak-hak perempuan juga harus diperjuangkan terutama oleh para laki-laki. Justru dengan masing-masing potensi yang dianugerahkan Allah Swt. kepada laki-laki maupun perempuan itu merupakan hak manusia yang harus diperjuangkan untuk mencapai kualitas maksimal yang diridlai Allah Swt
wt
Teori konvensional yang beredar di Eropa -demikian pula di seluruh dunia- menyatakan bahwa “tempat perempuan adalah di rumah” dan bukan di ruang publik atau pada tempat kebijakan penyelenggaraan kehidupan dibuat.

Semua hak-hak demokrasi yang susah payah diperjuangkan, semisal, Revolusi Prancis hanya diberikan kepada Kaum Adam hingga seakan-akan perempuan tidak berperan apapun, atau lebih buruk lagi, hanya “hak milik” laki-laki. Budaya ‘patriarchal’ telah membawa kaum perempuan ke lembah penindasan di Iran (film karya Dariush Mehrjui “Leila” dan “Bemani” judul asli, atau “To Stay Alive” judul untuk festival), Mesir (film “Woman at the Point Zero” (1979) karya novelis dan feminis Mesir, Nawa al-Sa’dawi), Afganistan (film “Kandahar” atau Safar e Gandehar (judul asli) atau The Sun Behind The Moon (untuk judul festival)), Indonesia (ketika kartini berusia remaja, keluar rumah saja tabu apalagi untuk bersekolah), dan di mana-mana.

Inilah yang mengusik seorang perempuan Perancis, Olympe de Gouges, menerbitkan Deklarasi Hak-hak Kaum Wanita (1789), sebagai reaksi terhadap kesengajaan tidak dicantumkannya kaum Hawa dalam Deklarasi hak-hak manusia (Man) yang dinyatakan para pelaku Revolusi Perancis. Keadaan tak jauh berbeda yang terjadi pula di Amerika memunculkan Susan B. Anthony (1820 – 1906), seorang pemimpin gerakan anti perbudakan dan hak pilih bagi perempuan. Perjuangan untuk mencapai kesamaan hak bagi kaum wanita berjalan lambat di abad ke-XIX hingga tidak heran kaum Hawa tidak segera meperolehnya. 

Kaum wanita Australia, misalnya, baru mendapatkannya pada tahun 1902, perempuan Inggris pada tahun 1918, dan kaum Hawa Amerika, melalui amandemen konstitusi ke-9, baru mendapatkannya pada tanggal 26 Agustus 1920. Adapun kaum ibu Perancis baru memperoleh hak paling dasar dari sebuah masyarakat demokratis itu pada tahun 1945. Tradisi ini ternyata sudah ada sebelum agama Kristen dan diikuti oleh orang-orang Yunani dan Romawi, pada masa itu ada suatu kebiasaan dari saudara-saudara sebangsa dan setanah air mereka untuk menistakan perempuan. Di kalangan bangsa Romawi membuang bayi-bayi perempuan itu dibenarkan, bahkan secara implisit dikodifikasikan dalam hukum.  

“Ayah diharuskan membesarkan semua anak laki-laki mereka dan hanya satu anak perempuan; karena pembunuhan bayi sudah lazim terjadi di kalangan bangsawan Romawi, dan tidak berkaitan dengan kebutuhan material”. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga berlangsung di Mesir di mana perempuan biasa dipersembahkan sebagai tumbal bagi sungai Nil. 

Seolah menjadi spirit yang sama, bangsa Aztec Inca juga melakukan pemberian kurban berupa perempuan muda untuk dewa mereka, bahkan beberapa suku Amazon (ini berbeda dengan kisah fiktif suku Amazon) juga sampai saat ini masih ada tradisi mengubur anak-anak perempuan.

Anehnya, mereka yang menjalankan adat untuk memperoleh “kecintaan dan berkah” para dewa mereka itu tidak mempersembahkan sesaji berupa laki-laki, dalam pengertian mereka kurban perempuan akan lebih disukai oleh dewa karena korbannya berkedudukan tinggi dalam pandangan mereka.

Konon penaklukan perempuan bermula pada masa Nomaden, saat kebiasaan mengembara berburu lebih memberikan dominasi pada lelaki untuk pegang kendali pimpinan keluarga. Masa Nomaden digambarkan sangat keras dan butuh otot serta mobilitas fisik, secara tidak langsung, memposisikan wanita berada dibelakang, terutama karena alasan alami, hamil dan memelihara bayi.

Disisi lain psikologi ‘Peperangan’ juga menjadikan kaum perempuan jadi pemberi comfort lahir batin bagi prajurit yang stress, suasana batin kaum laki-laki pemburu yang lelah dan tegang akibat mempertaruhkan nyawa menuntut kaum Hawa menghormati, melayani, dan mengelukan mereka sebagai pahlawan.

Maka sangat logis bila saat Jaman Tembaga peran bagi perempuan melingkupi banyak hal semisal ; berkebun, bekerja di rumah, dll, sedangkan kaum Adam menambang. Inilah yang pada gilirannya, memunculkan tesis kontroversial yang menjustifikasi budaya Patriarki, “Pada awalnya, laki-lakilah yang menjadi pelaku utama perekonomian karena kondisi alam-ketika itu kurang memungkinkan kaum perempuan terjun berburu mencari makanan ke hutan.”

Perempuan dari Masa ke Masa
Dari masa ke masa, budaya patriarki yang merupakan sisi mata uang dengan sistem monarki di sisi yang lain bermetamorfosis dan beradaptasi dengan struktur dan sistem yang ada dan menciptakan ketidakadilan baru bagi perempuan. Keterpurukan status perempuan semakin buruk oleh adanya sistem kelas dalam masyarakat feodal dan semakin bertambah mengenaskan bila kebetulan ia anggota kelas minoritas, miskin ( rakyat kebanyakan). 

Kenyataan pahit ini terus berlangsung dalam transformasi corak produksi feodal kepada model kapitalistik terutama di Barat saat meletusnya revolusi industri. Perempuan menjadi sub-ordinat laki-laki, tidak lebih dari mesin reproduksi yang tidak memiliki hak sosial, politik, dan ekonomi. 

Jauh sebelum Muhammad putra Abdillah diutus sebagai rasul, seperti ditunjukkan beberapa bukti arkeologis yang mengisyaratkan penghormatan terhadap “Dewi Ibu” dalam jaman neolitik, peradaban kuno di Timur Tengah sangat menghormati kaum istri. Posisi kaum perempuan yang dominan bahkan lebih tinggi daripada laki-laki ini, seperti juga ditunjukkan oleh kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan tersebut, berlangsung hingga millennium kedua (2) bahkan menjadi aturan di beberapa kawasan seperti Mesir, Mesopotamia, Elam, Kreta, dan di kalangan bangsa Yunani, Phoenica. 

Kondisi tersebut berubah seiring dengan pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks karena mulai ada persaingan kepentingan antar kelompok. Hal ini pada akhirnya menghasilkan dominasi laki-laki dan struktur sosial berdasarkan kelas di mana kalangan militer dan elit istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga lalu bercorak patriarchal dan dirancang untuk menjamin paternalitas pewaris kekayaan; dan kepentingan kaum Adam dalam mengendalikan seksualitas perempuan pun terlembagakan serta dikodifikasi oleh negara. 

Meningkatnya keragaman dan spesialisasi masyarakat perkotaan juga pertumbuhan populasi yang tidak hanya terdiri dari satu jenis profesi turut memperkuat subordinasi dan marjinalisasi kaum Hawa, menurunkan status mereka yang, pada gilirannya, meruntuhkan kepercayaan terhadap para Dewi.

Proses yang mengawali kebangkitan para Dewa ini berlangsung turun temurun melampaui beberapa generasi sehingga mewujudkan sebuah peradaban baru yang tanpa disadari telah menggantikan peradaban sebelumnya.

Hal tersebut mempengaruhi hukum-hukum yang berlaku dari matriarchal menjadi patriarchal yang secara keseluruhan lebih keras dan mengekang perempuan. Beberapa ketentuan hukum yang berlaku di zaman ini antara lain Kode Hammurabi (sekitar 1.752 SM) dan hukum Assyria (sekitar 1.200 SM). Setelahnya muncul beberapa aturan yang dilegalkan dalam Kode Hammurabi misalnya membatasi waktu bagi seorang laki-laki untuk dapat menggadaikan istri dan atau anak-anaknya selama tiga tahun dan melarang tegas memukul, atau menyakiti agunan gadai. 

Belakangan hukum Assyria menghapus langkah-langkah protektif ini dan secara tegas membolehkan memukul agunan gadai tersebut [perempuan], menusuk telinga, dan menjambak rambut mereka. Hukum Assyria juga membolehkan suami menjambak (rambut) istrinya, memotong atau memelintir telinganya tanpa dikenai hukuman. 

Klausul yang lain menyebutkan kaum pria bisa dengan mudah menceraikan istrinya khususnya bila mereka tidak bisa melahirkan anak, tetapi (sang istri) berhak mendapatkan uang denda (uang perceraian) dan (si suami) diharuskan mengembalikan mahar. Sedangkan Undang-undang hukum Assyria membolehkan suami memutuskan istrinya tanpa syarat. “Bila seorang tuan besar ingin menceraikan istrinya, bila hal itu adalah kemauannya, ia bisa memberinya sesuatu, bila hal itu bukan kemauannya, istri akan pergi dengan tangan hampa (183)”. 

Ketentuan lainnya menyebutkan bahwa istri yang menentang suaminya boleh dirontokkan giginya dengan batu bata, sedangkan Kode Hammurabi menetapkan bahwa seorang anak harus dipotong tangannya bila memukul ayahnya (kode 175). Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan mempersembahkan anak perempuannya kepada para dewa, ia juga berhak menggadaikan atau menjual istri dan atau anak-anaknya untuk membayar hutang. 

Begitu juga aturan-aturan tentang hijab yang pada masa itu lebih didasarkan kepada kepentingan politik rasialis daripada keamanan dan perlindungan bagi perempuan. Hukum Assyria memberlakukan hijab bagi istri dan anak dari “tuan besar” atau bangsawan, tetapi pekerja seks dan budak dilarang mengenakan hijab dan pelanggarnya dikenakan hukuman berupa cambuk, dituangi ter (kepalanya), atau dipotong telinganya (hukum-hukum 183). 

Perempuan Dalam Agama-Agama.
Dari sekian banyak agama yang dianut manusia, Sebenarnya Islam tampak revolusioner [ pada awalnya Muhammad dan Khadijah bersama-sama menggerakan reformasi revolusioner pada tatanan kehidupan] dalam merubah peradaban manusia, salah satunya dalam hal keadilan dan penghargaan terhadap perempuan. Beberapa indikasi perubahan peradaban manusia pada perempuan yang telah dilakukan Islam antara lain :
Menentang adat penistaan perempuan yang dilakukan bangsa Arab, dari hal mengubur hidup-hidup anak perempuan, pembatasan jumlah istri (dari 8-10 dijadikan 4 saja), hukum bagi waris untuk perempuan, hingga hak penentuan Mahar (mas-kawin) diberikan sepenuhnya pada perempuan.
Seiring lalu waktu, paska kembalinya Contatinopel ke tangan pasukan salib, hukum-hukum atau nilai-nilai revolusioner Islam pun berkembang ke wilayah Eropa, Asia hingga benua baru (Amerika). Memang masih banyak perdebatan di kalangan ilmuan sejarah dalam hal pengaruh Ideologi Islam ini (setidaknya BBC milik Inggris pun memulai proyek tela’ah khusus tentang pengaruh ideologi Revolusioner Islam paska tragedi di Constatinopel)
Agama juga sangat diharapkan para penganutnya untuk membuat formulasi suatu sistem sosial yang dapat memberikan kebahagiaan (happiness), kebebasan (freedom), harga diri (dignity), dan kedamaian pada manusia, alam, dan ciptaan lainnya

Agama memiliki peran yang amat penting terhadap struktur masyarakat karena, selain menjadi pedoman hidup yang fundamental bagi manusia, juga memilki pengaruh fungsional (Zakiyuddin Baidhawy, (ed.), Wacana Teologi Feminis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hal. vii-viii). Meskipun demikian tak dapat dipungkiri bahwa agama bisa ditafsirkan sedemikian rupa hingga menjadi alat untuk legitimasi struktur penindasan atau membentuk stereotype patriarkhis pada umat manusia.

Ayat-ayat dalam Al Quran seperti yang dinyatakan Surat al-Furqan [25]:32 dan al-A’la [87]:6, (Sebab turunnya ayat ini atau asbabun-nuzulnya dalam beberapa tahap sesuai konteks persoalan yang ada dalam masyarakat jaman Muhammad hidup). Ayat terakhir dari suatu persoalan harus diambil sebagai penetapan final Al Quran tentang suatu hal, sedangkan ayat-ayat sebelumnya dibatalkan (mansukh) dalam arti ayat-ayat itu hanya berlaku pada zaman permulaan Islam saja. 

Ayat-ayat tersebut masih termuat di dalam ‘Mushhaf’ karena, setiap kali muncul gerakan baru, selalu ada “suatu permulaan”, dan ayat-ayat yang lebih awal relevan dalam membantu umat Islam untuk memahami proses dakwah dan metodologinya dalam mengubah masyarakat. Ini berarti proses kebudayaan manusia yang terekam dalam kitab suci tidak seharusnya menjadi standar mutlak.

Sebagaimana, pada zaman perbudakan di AS (Wanita AS dengan warna kulit apapun memiliki hak pilih yang sama 50 tahun setelah amandemen konstitusi ke-14 yang dibuat pada tahun 1868) dan Apharteid di Afrika Selatan, “kaum hitam” ditindas dengan pembenaran dari kelompok-kelompok agama tertentu beserta otoritas yang dimilikinya telah menyalahgunakan kitab suci, kaum Hawa juga ditindas dengan justifikasi mereka yang mengalami kekeliruan dalam menafsirkan ajaran. 

Di tengah-tengah masyarakat religius kaum perempuan ditindas atas nama Tuhan. Sungguh ironis bahwa banyak bukti semakin “religius” seseorang [baca:pria atau wanita], justru makin besar sifat menindas terhadap perempuan. Bahkan mereka yang mempercayai dominasi kaum laki-laki malah menulis buku-buku, “Status Kaum Perempuan dalam Islam”, yang umumnya untuk konsumsi masyarakat non-Islam.

Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan yang sakral itu justru terjadi dengan penggunaan teks-teks agama akibat metode pembahasan para “pemuka” agama terhadap teks-teks ajaran tentang perempuan yang sangat ‘male-based’ (berdasar-kelelakian) . Hal ini terjadi karena Kitab Suci diperankan normatif (menentukan) bagi kehidupan dan pemikiran umat hingga secara tidak langsung, Kitab Suci dijadikan alat pelestarian superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. 

Atau meminjam istilah E. Schussler Fiorenza, Kiriosentrisme. Bahkan, beberapa teolog feminis akhirnya mengambil kesimpulan Kitab Suci merupakan (salah satu) “sumber dan asal-usul penindasan terhadap kaum perempuan”. (Robert Hamerton-Kelly, “God the Father in the Bibel and in the Experience of Jesus : the State of the Question”, Concilium 143, 1981, hal 95.)

Kesimpulan ini menemukan pembenarannya pada kasus hilangnya religi Aluk To Dolo di kalangan masyarakat Tana Toraja setelah masuknya agama Kristen Protestan yang dibawa oleh Badan Pekabaran Injil Belanda Gereformerde Zending Bond (GZB) yang membangun sarana kesehatan, sekolah, dsb. Secara struktural, masyarakat Tana Toraja sebelum tahun 1913 menganut sistem kekerabatan bilateral dan unsur-unsur matrifokal yang memberikan perempuan peran sentral dan sama-sama mempunyai peran penting bersama dengan kaum Adam.

Ajaran Aluk To Dolo menempatkan kaum istri sebagai To Burake yang berarti bahwa perempuan merupakan gudang pengetahuan keagamaan sehingga mereka ditempatkan sebagai pemimpin upacara puncak/tertinggi dari seluruh rangkaian upacara ajaran Aluk To Dolo. Perempuan yang, dalam religi Aluk To Dolo, cenderung memiliki hubungan setara dan saling melengkapi bersama dengan laki-laki akhirnya terpinggirkan oleh beberapa ayat Al Kitab yang diskriminatif atau bias jender.

Dalam sejarah peradaban kaum muslimin, penerjemah dan penafsir ayat senantiasa berasal dari pihak laki-laki sedangkan mufassir dan muhaddits dari kalangan perempuan baru muncul belakangan. Hal inilah yang antara lain dituding sebagai penyebab lebih diunggulkannya kepentingan kaum adam [Pria;laki-laki]. Tafsir yang kental dengan unsur misoginis tersebut terjadi, di samping karena penafsiran agama telah berumur ribuan tahun ditambah eskalasinya dengan budaya patriarchal, adat istiadat, stereotype, dan mitos-mitos tentang perempuan dan kaum Adam, juga karena setiap laki-laki mempunyai perasaan dan kecenderungan misoginis yang telah terpatri dalam benak mereka. 

Laki-laki, misalnya, cenderung mempersepsikan dirinya sebagai pemimpin dan memandang perempuan harus tunduk kepada mereka. Perlu juga mengingat bahwa dahulu kala sejumlah ulama (seseorang yang mengkabarkan ajaran agama), adalah pendukung para raja yang menolak hak-hak luhur yang telah diberikan Allah kepada kaum Hawa. Hingga kaum (konsumen ajaran ulama) menerimanya begitu saja tanpa pertimbangan apapun (taklid atau menelan ajaran mentah-mentah). Sayang sekali bahwa umat (Islam) yang sudah mulai melawan kekuasaan para raja mayoritas tidak melihat hubungan antara sistem kerajaan dengan proses penindasan terhadap kaum perempuan yang ditegakkan atas nama ajaran (Islam) itu. 

Hal ini wajar karena kaum muslimin (terutama kalangan perempuan) memang tidak dimungkinkan dapat melihat ajaran (Islam) sebagai kekuatan pembebas ketika (pemahaman terhadap) ajaran (Islam) masih dicengkram kuat oleh ulama yang berpikir tribalis dan chauvanis kaum pria yang telah menurunkan peran mereka dalam kehidupan.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka yang mampu “menyadari keadaan” menjadi orang-orang sinis dan kemudian menolak ajaran (Islam) serta melakukan “segala” yang mereka inginkan. Gerakan perempuan di Barat, misalnya, pada umumnya menyorot secara sinis dan curiga kepada Islam yang dinilai sebagai ajaran yang memarjinalkan perempuan dan menjadikan kaum Hawa sebagai manusia kelas dua di bawah bayang-bayang kaum pria.

Mereka tidak sadar bahwa banyak sekali faktor yang bisa melahirkan kesenjangan yang jauh antara apa yang dikatakan para ayatullah dan maulana dengan apa yang ditunjukkan oleh Al Quran dan Al Hadits, apa yang dikatakan para Brahmana dan Pertapa dengan apa yang diajarkan oleh Weda; dan menilai suatu agama harus langsung kepada ajaran-ajarannya, bukan kepada realitas sosiologis pemeluknya!

Kita perlu mengkaji ulang benarkah apa yang kita pahami selama ini berasal dari teks keagamaan (baca : kitab suci) ataukah berasal dari narasi masalah kemanusiaan yang sebenarnya merupakan rekaman proses kebudayaan lalu kita sebut sebagai ajaran. Ini sangat penting terutama tatkala kita tahu bahwa realitas sejarah kaum muslimin (pasca-khulafa rasyidin) hanya dapat dibaca dalam konteks sejarah para despot, tiran, dan para raja.

Sementara narasi teks kitab suci dibuat bersusunan mitis dalam arti wacana di dalamnya yang menceritakan proses kesadaran kolektif sekelompok masyarakat yang sedang mengukir proyek tindakan sejarah baru (un nouveau project d’action historique) yang amat manusiawi dan sangat profan.

Mungkinkah konsistensi para ulama dalam menyalahtafsirkan, mengabaikan, bahkan menghilangkan ajaran-ajaran yang mendukung kaum ibu kita adalah suatu “kebetulan” semata? Suatu kebetulan yang berlangsung lebih dari 1.000 tahun di bawah kekuasaan para raja dan otokrat dengan (menciptakan) sistem sosial budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat sejarah kehidupan?

Rasulullah SAW diutus dengan misi rahmat bagi semesta (QS al-Anbiya [21]:107) yang antara lain kemudian “diterjemahkan” beliau dengan kalimat, “Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. Pernyataan ini merupakan prinsip dasar yang berlaku secara umum untuk menata kembali peradaban umat manusia di muka bumi supaya memiliki budi pekerti yang luhur. Misi ini sesuai sekali dengan realitas sosial masyarakat Timur Tengah sebelum Islam yang sangat tidak menghargai prikemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dsb.

Waktunya Bertumbuh Ketika Lelah #KatakanSaja

 "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."  Efe 4:32

Cobalah untuk menceritakan kepada seorang sahabat yang Anda percayai tentang aspek pertumbuhan rohani apa yang Anda rindukan. Mintalah bantuannya untuk ikut mendoakan dan mendorong Anda bertanggung jawab pada keputusan Anda. Kemudian bersabarlah. Kerohanian Anda akan bertumbuh apabila Anda mengizinkan Roh Kudus bekerja di dalam diri Anda.

Tuhan, berilah aku kesabaran terhadap diriku sendiri dan sesamaku. Tolonglah aku untuk bekerja sama dengan Roh Kudus ketika Dia membentuk kerinduanku dan menolongku bertumbuh.
Setiap langkah kecil dalam iman merupakan langkah besar menuju pertumbuhan rohani.

Lepas bulan april 2017.
Pernikahan adalah suatu hubungan dimana dua pribadi bercampur menjadi satu. Tiap pribadi mempunyai kehendak, kebutuhan dan cita-citanya sendiri. Karena tiap pribadi adalah unik, dan karena apa yang tiap pribadi bawa juga unik, konflik mungkin terjadi. Kenyataannya, mungkin ada banyak konflik dalam kehidupan pernikahan. Ini bukanlah sesuatu yang buruk. Ini hal yang wajar. Bagaimana tiap pasangan menanggapi konflik tersebut adalah hal yang utama.  
Kamus menjabarkan konflik sebagai "suatu perjuangan, pertentangan, benturan dan ketidakcocokan yang tajam, kehendak yang bertolak belakang." Pertentangan dapat menjadi suatu waktu untuk hubungan pernikahan yang bertumbuh atau justru bisa menjadi betul-betul menyakitkan, tidak terselesaikan, dan menghancurkan. Banyak orang Kristen yang tidak menghadapi masalah secara terbuka sebab tidak ada yang telah menBacalah  Yak 4:1-3. Sebelum pernikahan, suatu pribadi sudah hidup terpisah selama dua puluh tahun atau lebih. Selama jangka waktu itu, setiap pribadi sudah menumbuhkan suatu selera, pilihan, kebiasaan, kesenangan dan ketidaksenangan, nilai-nilai dan standar secara individu. Upacara pernikahan tidak membuang semua perbedaan secara individu ini. Acara ini tidak menyebabkan mereka selalu ingin melakukan sesuatu, cara dan waktu yang sama. Tentu saja pasangan tersebut akan Mempunyai perbedaan pendapat dan pilihan dan ini akan menuju kepada berbagai ketidakcocokan. 
Orang-orang menanggapi konflik/pertentangan dengan cara yang berbeda.
1. Beberapa orang memilih untuk menyendiri. Mereka mungkin secara fisik meninggalkan ruangan atau tempat pertentangan tersebut. Mereka mungkin menyendiri secara jiwa dengan tidak berbicara, dengan mengabaikan lain, atau menutup diri sehingga tidak ada perkataan atau perbuatan yang mengena mereka.
2. Beberapa orang merasa bahwa mereka harus menang, tidak peduli berapapun ’ harganya’. Karena tiap pribadi dalam pasangan dalam pernikahan sangat tahu kelemahan dan luka yang dimiliki pasangannya, maka mereka sering menggunakan bagian ini untuk memaksa pasangannya untuk menyerah. "Si pemenang" mungkin menyerang harga diri atau kebanggaan yang lain supaya menang.
3. Beberapa orang mengalah dalam suatu pertentangan agar bisa berbaikan kembali dengan pasangan mereka. Mereka menyembunyikan kemarahan dan membiarkannya tetap ada. Mereka mungkin menyimpan kepahitan dan luka hati namun tetap melanjutkan hidup bersama dengan masalah yang tetap tak terselesaikan.
4. Beberapa orang bisa berkompromi, atau memberikan sedikit dan mendapatkan sedikit. Kadang-kadang kompromi penting. Namun, menggunakan cara ini agar mendapatkan sesuatu untuk diri sendiri adalah tanggapan yang kurang baik terhadap suatu pertentangan/konflik.
5. Beberapa orang bersedia meluangkan waktu yang cukup dalam komunikasi secara langsung dan terbuka sehingga beberapa keinginan atau ide-ide mereka yang semula berubah, mereka puas dengan jalan keluar yang sudah mereka setujui. Mereka telah menyelesaikan pertentangan tersebut. Bacalah  Efe 4:29-32.

Orang yang memiliki pola pikir bertumbuh, mereka percaya kecerdasan bisa berkembang. Ia terpicu untuk memaksimalkan potensi dirinya. Ia terpicu untuk melihat sebagus apa ia akan menciptakan kehidupannya. Ia yakin apapun bisa dicapai dengan cara mau belajar dan mengambil tindakan. Memang mengambil tindakan dan menghadapi hal yang baru adalah sesuatu yang tidak mudah dan nyaman dilakukan. Tapi ini sangat menantang.

Orang dengan pola pikir bertumbuh menyambut tantangan dan perubahan. Ia tidak ingin kehidupannya sama. Sukses adalah berubah, menyesuaikan diri dan mengatasi perubahan itu. Ia sangat memahami, dengan melewati tantangan ini, ia akan lebih kuat dan lebih besar.
Menjalaninya tidak mudah. Namun, ia tidak pernah menyerah. Ia akan terus mencari jalan. Mempelajari bagaimana mengatasinya, bertumbuh dari kesulitan yang ia alami. Saat ujian datang, itu juga berarti sebentar lagi naik kelas. Saat kegagalan datang, itu adalah proses belajar. Dan mereka memahami, itu bukan hasil akhir selama mereka terus melakukan sesuatu.

Usaha tidak selalu langsung menghasilkan, namun, usaha adalah proses yang perlu dilakukan untuk menjadi orang yang lebih baik. Untuk membentuk jalan kesuksesan. Bahkan jika usaha itu layaknya seperti hanya menebas beberapa helai rumput dari semak belukar yang menghadang jalannya. Semua orang tidak selalu setiap saat bisa melihat tujuannya dengan jelas. Namun, dalam dirinya, yakin sekali bahwa apa yang ada di ujung jalan ini adalah kehidupan yang ia inginkan.

Ia belajar dari kritik. Seperti seorang peselancar yang selalu menari di atas ombak. Kritik adalah kesempatan melihat apa yang dilakukan dari sudut pandang berbeda. Ia tidak merasa itu menjatuhkan, namun membantunya lebih cepat tumbuh. Ia bahagia melihat orang lain sukses. Ia bersyukur dengan apa yang ia dapatkan, Ia juga mendoakan orang sukses. Ia percaya proses yang telah mereka lakukan di masa lalulah yang membawa mereka menikmati apa yang mereka dapatkan hari ini. 

Dengan pola pikir seperti ini Bidu terpicu untuk menjadi lebih baik setiap hari. Ia membangkitkan potensi dalam dirinya. Ia menggunakan apa yang telah Tuhan titipkan dalam dirinya. Ia akan terus bertumbuh dan berkembang dengan umpan balik positif.

Ide sebuah perubahan sebenarnya sederhana. Bagi sebagian orang, perubahan adalah hal yang berhubungan dengan materi yang lebih baik. Kesejahteraan yang lebih baik. Kekayaan, uang. Jadi perubahan yang lebih baik itu berarti lebih banyak kekayaan dan uang bukan? Ternyata bukan demikian, Uang hanyalah simbol dari keberhasilan kita melakukan perubahan itu.

\selamat berubah selamat bertumbuh 
 

Bandung Kota Banyak Cerita #KatakanSaja

Ini kisah yang menjabarkan segala hal tentang Bandung yang sudah aku lalui.  Entah karena letak geografis yang tidak terlalu jauh dari kampung halaman (baca Garut). Atau karena memang sudah kepincut dengan segala hal berbau Bandung mulai dari kecil.

Mulai dari diajak jalan-jalan keliling alun-alun bersama Bapak saat  berusia 5 tahun, jajan VCD yang  10000 dapat 3 keping, jajan aromanis sama jajan es cendol juga sama Bapak cuma buat ngabuburit biar aku gak batal puasa. Sampai ketika menginjak remaja, aku begitu akrab dengan hiruk pikuk Kota Bandung, dimulai dari siaran radio, training-training, ikut tes seleksi SNMPTN, tes kerja sampai pernah bekerja di Bandung dan jatuh hati dengan orang Bandung juga patah di Kota Kembang ini. Hiks ini pedih ...

Cerita ini mengingatkan pada Cibiru, Setraduta, Cibadak, Cibaduyut, Leuwi Panjang, Setiabudi, Kebon Kalapa,Pasteur, Setrasari, Cihampelas, DT, Al-Latif, Gedung Sate, Astana Anyar, Diponegoro,Dago, TAHURA, RIAU, ACEH, Lembang, Ciater, Gunung Tangkuban Parahu, De Ranch, Begonia, Patahan Lembang, Gunung Putri, Gunung Burangrang, SMA 3 SMA 2 SMK Pasundan juga Buah Batu Kopo dan Moh. Toha sebagai saksi bisu perjalanan selama merantau disana. Masih banyak nama-nama daerahnya yang lain, disebutin semua bisa-bisa penuh, kamu bisa cek di ceritaku sebelumnya untuk liat #Jalambrahnya aku.

Lama di Banten, hal yang paling dikangenin adalah pulang ke kampung halaman. Memutuskan resign di 2015 dan menetap setahun di Garut dengan usaha Kopi, Produk makanan juga direct selling Tulipware buat aku bisa membangkitkan jiwa entepreneurship dadakan buat dapat jajan hehe ... tak lama di awal 2017, lewat MIra teman SMA-ku dulu menawarkan kerjaan di suatu perusahaan Konsultasi yang berpusat di Jakarta. Aku ikuti tesnya dan alhamdulillah rejekinya bekerja di Bandung selama kurang lebih 10 Bulan. Kenapa sebentar? karena sekarang sudah ada yang meminta kembali untuk datang dan menetap di Serang dengan status baru. Ya rencana untuk melanjutkan studi ke Belanda tertunda dengan waktu yang tak dibatasi.

Saat ini aku diamanahi tugas di salah satu Perguruan Tinggi Swasta Agama di Serang. Menjadi yang aktif dibidang kependidikan dan administrasi bukan hal yang baru bagiku. semoga berkah dan manfaat.

PROJECT MENULIS 009 EKS. 01

Menjadi sederhana bukanlah untuk merendah. Tapi sederhana, kau akan tahu sikap lebih pada sang Maha #KharaBlogspot@190117

 

Sebenarnya hanya menulis dari dalam diri apa yang sedang terjadi dan dirasa. Maaf baru dituliskan. ini adalah kisah di Januari 2017 lalu. Menikah. Kata yang akhir-akhir ini (pada saat itu) menjadi momok yang sangat melieurkan (baca: memusingkan) karena aturan adat yang dilakukan dengan apa yang kami rencanakan bertolak belakang. Dan hal ini menyatakan bahwa kami bukan jodoh. Termasuk didalamnya hal-hal lain tentang kesakralan ini.

Islam dan Perempuan Berkarir

Kebutuhan hidup dewasa ini yang semakin tinggi memaksa para wanita untuk bekerja dan meninggalkan rumah demi membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga. Seiring perkembangan zaman, saat ini masyarakat menilai bahwa pekerjaan wanita tidak hanya membantu suaminya mengurus rumah tangga saja akan tetapi mereka bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya  (baca hukum menuntut ilmu) dan bekerja untuk mengaktualisasi ketrampilan dan pendidikannya. Islam sendiri sebagai agama yang adil telah menetapkan hak yang hilang dari wanita sebelum kedatangan islam dan setelahnya (baca wanita dalam islam). Islam menjamin bahwa wanita berhak memiliki harta dan kepemilikannya atas harta tersebut diakui secara penuh termasuk dalam hal harta warisan (baca kedudukan wanita dalam islam) sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut ini

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS An-Nisa : 7)

Wanita yang bekerja diluar rumah dikenal dengan sebutan wanita karir. Lalu bagaimanakah pandangan islam terhadap wanita karir? Simak penjelasan berikut ini mengenai wanita karir dalam pandangan islam.

Menurut hukum Islam, wanita berhak memiliki harta dan membelanjakan, menggunakan, menyewakan menjual atau menggadaikan atau menyewakan hartanya. Mengenai hak wanita karir atau wanita yang bekerja diluar rumah, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang wanita karena peran dan tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peran yang mulia.
Tidak ada pembantu atau asisten tumah tangga yang dapat merawat anak dan menggantikan ibunya dalam tugas mendidik dan membesarkannya. Adapun seorang wanita juga memiliki kewajiban pada suaminya untuk mengurus dirinya, rumah tangga dan anak-anak (baca peran wanita dalam islam). Islam juga menganjurkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini :

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf”. (Q.s. Al-Baqarah [2]: 233)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguh nya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahl al-bayt, dan mem bersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q.s. al-Ahzâb [33]: 33

Namun demikian, tidak ada satupun petunjuk maupun ketetapan dalam agama Islam yang menyatakan bahwa wanita dilarang bekerja diluar rumah khususnya jika pekerjaan tersebut membutuhkan peran dan penanganan wanita. Misalnya perawat, pengajar anak-anak dan dalam hal pengobatan.(baca hukum wanita bekerja dalam islam)

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisaa [4] : 32)


Isu wanita karir aatau wanita yang bekerja bukanlah merupakan hal baru dalam masyarakat saai ini. Sejak manusia diciptalan oleh Allah dan mula berkembang biak,wanita sudah pun bekerja naik didalam rumah maupun di luar rumah. Meskipun demikian, wanita karir saat ini merujuk pada mereka yang bekerja diluar rumah seperti di kantor dan mendapatkan gaji. Dalam Alqur’an juga dijelaskan bahwa setiap manusia hendaknya mencari rezeki dengan cara bekerja sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT dalam dalil berikut ini

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah(62):10)

“Tuntutlah harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepada kamu, yaitu pahala dan kebahagiaan hari akhirat, danjangan kamu melupakan kebahagiaan kamu di dunia “.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qasas (28):77

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuat” (An Nisa ayat 32)

Melalui ayat tersebut dapat difahami, setiap manusia termasuk wanita berhak untuk bekerja dan mendapat ganjaran yang setimpal apa yang mereka kerjakan. Sehingga dalam islam hukum wanita yang bekerja adalah mubah atau diperbolehkan.


Sumber:
https://dalamislam.com/info-islami/wanita-karir-dalam-pandangan-islam
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-wanita-bekerja-dalam-islam
Al-Qur'an

Senin, 15 Januari 2018

Belajar Melepaskan Saat Sudah Tak Bisa Lagi Saling Menguatkan

Bahasannya berat ya? bawa santai aja, ini hanya akan jadi pelajaran saja ketika beberapa waktu ini mengingat masa-masa di akhir 2016 dan awal 2017. Sebagai pelajaran dan pembenahan (ealaahh hehe) . Melepaskan. rasa rela. rasa ikhlas. melupakan. bisa dibilang itu hal yang sulit untuk dilakukan. well, tergantung orangnya. banyak orang yang bersembunyi dibalik kata "apa? aku udah move on kok!", padahal nyatanya, dari 100 orang responden yang ngaku udah move on, 70% nya belum move on. 30% nya lagi masih teringat. ini bukan survey cak lontong, bukan juga hasil quick count. hanya saja, orang yang udah move on biasanya nggak bilang kalau dia udah move on. saking udah stay cool, saking udah wolesnya. masuk akal, ya?
sementara orang yang sulit melepaskan itu, pasti akan mengalami masa masa bertanya-tanya. masa masa mengingat masa lalu. masa masa heran, kok keadaan berubah? kenapa begini? kenapa begitu? "perubahan akan bikin kita merasa kehilangan.". iya, ada yang berubah. dan kita harus melepas apa yang ada ditangan kita. sulit. Beberapa orang berhasil melewati fase 'melepaskan' dengan sangat mudah. bisa dibilang, mereka "kaum yang mudah melepaskan". mungkin hanya berpegang teguh, sekali lagi, berpegang teguh pada kata-kata "yaudah, nasib.", "ya emang harus begitu, gimana lagi.", dan yah, beberapa orang tidak perlu alasan untuk melepaskan. sesuatu yang ada, tiba tiba gak ada, yaudah. a "yaudah" really make people survived. Tapi, lebih banyak lagi orang yang nggak percaya apa itu "yaudah". contohnya aja, aku. aku paling susah menerima sebuah "yaudah", dan meninggalkan sesuatu tanpa alasan. aku akan mencari tahu, bahkan menghamba agar diberi tahu.  Aku yakin, bukan cuma aku orang yang sulit melepaskan. ini juga bukan tentang orang, bisa tentang barang, tentang binatang, tumbuhan. karena alasan "yaudah, nasib" terasa kurang rasional, disini aku mencoba menjabarkan secara teoritis.

"Melepaskan bukan berarti kamu tidak peduli tentang orang itu lagi. Artinya adalah kamu menyadari kalau orang yang bisa kamu kendalikan hanyalah dirimu sendiri" - Deborah Reber

"Biarkanlah hubungan itu pergi, simpanlah pelajarannya" - L.J. Vanier

Sebenarnya kita berat melepaskan karena:

* Kita tidak ingin melepaskan seseorang ketika kebahagiaan kita sangat bergantung pada orang itu.
* Kita tidak ingin melepaskan seseorang ketika kita merasa dia itu kacak, cantik, teristimewa dibandingkan dengan yang lain.
* Kita tidak ingin melepaskan seseorang ketika kita takut tidak dapat menemui yang seperti dia lagi.
* Kita tidak ingin melepaskan seseorang ketika begitu banyak saat-saat indah bersamanya, sentiasa terbayang di benak kita.
* Kita tidak ingin melepaskan seseorang ketika hati kita berkata “Saya sangat mencintainya”.

INGATLAH!

Melepaskan bukanlah berakhirnya melainkan awal dari suatu kehidupan baru..

* Kita harus melepaskan seseorang kerana kebahagiaan kita tidak tergantung padanya.
* Kita harus melepaskan seseorang kerana kita menyedari yang kacak,yang cantik, yang istimewa belum tentu yang terbaik buat kita.
* Kita harus melepaskan seseorang kerana kita tahu jika Allah mengambil sesuatu, Dia telah siap memberi yang lebih baik.
* Kita harus melepaskan seseorang ketika saat-saat indah hanyalah tinggal masa lalu.
* Kita harus melepaskan seseorang kerana kepala kita berkata “tidak ada lagi  yang dapat dipertahankan”.
* Kegagalan tidak bererti kita tidak mencapai apa-apa, namun kita telah memahami sesuatu! Segala sesuatu ada waktunya, ada saat mempertahankan, ada saat melepaskan…!

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Kerana sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap” (QS.94:1-8)

 

 

 

HARI BARU

 Selamat Siang! kembali bertemu lagi, maafkan vacum yang begitu lama karena satu dan lain hal juga status baru aku. Alhamdulillah resmi meni...