Minggu, 09 Desember 2018

Resensi Akik Dan Penghimpun Senja by Afifah Afra

Akik Dan Penghimpun Senja 
Buku ini baru aku selesaikan baca hari ini. Pas 3 hari baca, kenapa lama? karena sambil ngerjain pekerjaan rumah dan kerjaan hehehe ... ini resensinya. Silakan disimak.

Judul Buku: Akik dan Penghimpun Senja

Penulis: Afifah Afra

Jenis: Novel

Dimensi: 19 x 13 cm

Ketebalan: viii + 322 Halaman

Penerbit: Indiva Media Kreasi, Solo

ISBN: 978-602-1614-63-1

Cetakan ke-1: April 2015

Harga: Rp 55.000
 
Akik Dan Penghimpun Senja adalah novel persembahan Afifah Afra yang fenomenal ditahun 2015. Berlatar belakang alam pantai eksotik, berselimut senja menjingga dan pesona gua yang terbentang megah. Novel bertema senja ini berisi Perpaduan unsur cerita modern, tentang misi pengembaraan sekelompok mahasiswa ke dalam gua, juga dibumbui sekelumit cerita tentang penghimpun akik yang bernuansa klasik. Gaya bahasa yang digunakan sangat membumi dan menarik. Judul dalam tiap bab mengandung makna aneka batu permata, sehingga Novel ini memiliki ciri khas yang unik. Karena pengarang pernah lulusan dalam bidang biologi, Kita akan menemukan bertaburan rangkaian kata yang indah tentang alam dan bumi, kemahirannya sangat pas dengan tema novel. Novel ini semakin berbobot dengan gaya kepenulisannya yang unik dan menarik.

Buku ini saya dapatkan dari teman saya Resty afika FLP Bekasi sebagai hadiah. Dan bukunya keren. Kisah tentang Fahira dan Antonserta Gunadi dan Rinanti di sisi lain. Mereka memiliki kisah sendiri-sendiri, namun sejatinya saling terkait. Fahira, gadis muda yang mandiri dan cerdas, mahasiswa sebuah PTN favorit di Semarang, suatu saat mendapatkan dana untuk meneliti Luweng Jaran, gua dengan entrance vertikal sedalam 50 meter, dengan panjang sekitar 30 KM. Gua yang belum dibuka untuk umum itu membentang dari timur ke barat pantai selatan daerah Pacitan yang misterius. Meski cerdas, Fahira tak punya pengalaman caving (susur gua), dengan berbagai teknik dan peralatan yang rumit. Mau tidak mau, dia harus meminta bantuan anak-anak Mapala di kampusnya, yang dipimpin oleh Anton, pemuda yang judes, galak dan sering bolos kuliah.

Sementar itu, Gunadi Hantayudha, seorang pemuda tampan yang cemerlang, keturunan raja Mataram, sekitar 30-an tahun, sesungguhnya punya pilihan hidup yang lebih normal. Akan tetapi, dia memilih kehidupan yang tak lazim. Dia bertapa di lurung-lurung gelap gua untuk mendapatkan kesaktiannya. Dia pun akhirnya menjadi sosok lelaki digdaya sakti mandraguna yang tersohor di areanya. Pekerjaan utamanya adalah memberi tuah-tuah pada batu akik yang dia jual dengan sangat mahal. Gunadi menikahi Rinanti, gadis jelita kembang desa yang memiliki kehidupan perekonomian kurang menguntungkan sehingga harus putus sekolah saat kelas 2 SMP. Meski konon Rinanti adalah keturunan Putri Campa, selir Raja Majapahit, toh dia hanya gadis desa yang miskin dan lugu.


…….
Aku dan jingga memadu rindu
Hanya sejenak, tak mengapa
Sejak purba, senja mati dalam usia muda
Aku hanya mampu menggunting senja
Menyimpannya disudut hati
Dan aku membukanya saat aku tak tahu
Bagaimana mengobati penyakit rindu
Akulah sang penghimpun senja

Harusnya, pernikahan itu membuat kehidupan Rinanti menjadi makmur. Karena Gunadi memiliki banyak klien yang selalu mau dan mampu membayar dengan biaya tak masuk akal. Tetapi, nyatanya Rinanti justru harus menyambung hidup dengan membuka warung es kelapa muda di Pantai Klayar.

Hidup Rinanti penuh dengan beban. Namun, beban itu selalu lumer saat dia mendapatkan senja yang indah di pantai Klayar. Setiap dia mendapatkan senja, dia akan menggoreskan satu garis di dinding kamarnya. Begitu terus, sampai akhirnya terhimpun 4822 dan berakhir di 4823 senja. Kisah didalamnya banyak membahas tentang gua, caver dan teknik juga apapun yang terlibat dalam istilah susur gua. Jadi seru banget deh bacanya sampai gamau dan gak terima kalau tamat gitu hehe
. Sebuah novel tak lepas dari kekurangan. Ending cerita Rinanti yang nelangsa, sedikit membuat pembaca bertanya-tanya akhir kisahnya. Melanjutkan perjalanan hidup memang tak mudah, seperti goresan senja, yang selalu rajin ia ukir, walau hatinya perih. Mencoba bermetamorfosa menjadi mutiara yang indah, ikhlas menyambut pagi hingga datangnya senja dengan suka cita akan membuat hidup makin indah bermakna. Kisah fahira dan anton pengen ada part 2 nya kayanya seru hehe. Hanya pada beberapa diksi yang dipilih agak kurang tepat/nyambung entah dari editannya yang terlewat atau bagaimana. Tapi dijamin ketagihan dan mau baca sampai habis.

Selamat membaca ...

Jumat, 07 Desember 2018

Kepustakaan Candi Part 2

Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada.

Berabad-abad lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina yang memuat uraian tentang Sunda.

Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara (458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara.

Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S. Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M), Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).

Berdasarkan keterangan dalam prasasti dan kitab-kitab yang ada, dapat diketahui bahwa Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M. Sang raja wafat tahun 382 dan digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 - 395 M). Raja Tarumanegara berikutnya adalah Purnawarman (395 - 434 M), yang membangun ibukota kerajaan baru, Sundapura, pada tahun 397 M. Kerajaan Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja Tarumanagara terakhir, Linggawarman, digantikan oleh menantunya pada tahun 669 M.

Prasasti Juru Pangambat yang menerangkan pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda dibuat tahun 536 M, yaitu pada masa pemerintahan Suryawarman (535 - 561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Dalam Pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara, seperti halnya penyerahan kembali kekuasaan oleh Suryawarman. Pengembalian kekuasaan tersebut merupakan petunjuk bahwa Sundapura, yang semula merupakan ibu kota Tarumanagara, telah berubah status menjadi sebuah kerajaan. Dengan demikian, pusat pemerintahan Tarumanagara mengalami perpindahan ke tempat lain.

Pada tahun 670 M, Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan yang dibatasi oleh S. Citarum, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Sunda merupakan keturunan Maharaja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman. Raja Tarusbawa, yang memerintah Kerajaan Sunda sampai dengan tahun 723 M, mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan.

Pada tahun 732 M. Raja Tarusbawa digantikan Raja Sunda II yang bergelar Prabu Harisdarma. Raja Sunda II yang juga menantu Raja Tarusbawa kemudian menaklukkan Kerajaan Galuh dan lebih dikenal dengan nama Raja Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Mataram Hindu, di Jawa Tengah, pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya, Rakai Panaraban. Putra Raja Sanjaya yang lain, Rakai Panangkaran, mewarisi kekuasaan di Kerajaan Mataram Hindu.

Baru sekitar tigapuluh tahun terakhir ini ditemukan beberapa situs sejarah berupa reruntuhan bangunan kuno di beberapa tempat di Jawa Barat. Temuan-temuan tersebut di antaranya adalah: Candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung (ditemukan pada 18 Agustus 2002); Candi Candi Ronggeng atau Candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis (ditemukan tahun 1977); Kompleks candi Batujaya di Kecamatan Batujaya dan di Cibuaya Kabupaten Karawang; serta Candi Cangkuang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten Garut. Walaupun sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi tersebut dibangun, namun penemuan reruntuhan bangunan kuno tersebut merupakan fakta baru yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kerajaan di wilayah Jawa Barat.

Kepustakaan Candi

Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.

Karena sjaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.

Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk.

Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda.

Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.

Dalam situs web ini, deskripsi mengenai candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.

Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat terliput.

TENTANG BATAVIA


        Perang antara Belanda melawan Spanyol selama 80 tahun (1568-1648) telah mendorong Belanda untuk mencari daerah jajahan ke nusantara. Tujuan Belanda datang ke Indonesia, sama dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya, yaitu mencari kekayaan, monopoli perdagangan, dan mencari daerah jajahan. Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, dan berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Namun kedatangan Belanda diusir penduduk pesisir Banten karena mereka bersikap kasar dan sombong. Belanda datang lagi ke Indonesia dipimpin Jacob van Heck pada tahun 1598.

        Pada tanggal 20 Maret tahun 1602, Belanda mendirikan kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), dengan tujuan sebagai berikut. Pertama, menghilangkan persaingan yang merugikan para pedagang Belanda. Kedua, menyatukan tenaga untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Portugis dan pedagang-pedagang lainnya di Indonesia. Ketiga, mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk membiayai perang melawan Spanyol.

        Kepemimpinan VOC dipegang oleh dewan beranggotakan 17 orang yang berkedudukan di Amsterdam. Oleh pemerintah Belanda, VOC diberi oktroi (hak-hak istimewa) sebagai berikut. Pertama, dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia. Kedua, memonopoli perdagangan. Ketiga, mencetak dan mengedarkan uang sendiri. Keempat, mengadakan perjanjian dan melakukan perang dengan negara lain. Kelima, menjalankan kekuasaan kehakiman dan melakukan pemungutan pajak. Keenam, memiliki angkatan perang sendiri. Ketujuh, mengadakan pemerintahan sendiri.

        Untuk melaksanakan kekuasaannya di Indonesia, diangkatlah Gubernur Jendera VOC antara lain sebagai berikut. Pieter Both, yaitu Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610-1619 di Ambon. Jan Pieterzoon Coen, yaitu Gubernur Jenderal VOC kedua yang memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta

        Batavia atau Batauia adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada koloni dagang yang sekarang tumbuh menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai Banten, bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kalapa, dan merupakan salah satu titik perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara. Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia-Belanda jatuh ke tangan Jepang.

Serius banget ya bahasanya? info selanjutnya kalian bisa klik link yang aku taurtkan. Kenapa sih tiba-tiba nulis bahasan sejarah, batavia, candi, museum. Karena minggu depan kita akan jalan-jalan kembali di Jakarta. Bersama genk ceria supergirl. oia FYI dulu ya
Nama lain dari jakarta adalah ...
  • Sunda Kelapa (397–1527),
  • Jayakarta (1527–1619),
  • Batavia (1619–1942),
  • Djakarta (1942–1945),
  • Jakarta (1945–present).
Jadi, buat pemanasan bisa baca dan share info tentang jakarta ya ...Ada apa aja di jakarta? dan kemana aja kalo jalan-jalannya sehari atau dua hari? Bisa ikuti caraku ... disimak yaa...

1. Kamu bisa mengunjungi MONAS alias Monumen Nasional
2. Museum Gajah atau Museum Nasional tepat disebrangnya monas
3. Kota Tua Jakarta
3. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral
4. Bundaran HI
5. Jalan utama Thamrin
6. Taman Mini Indonesia Indah
7. Ancol dan Dufan
8. Taman Suropati
9. Makan di sepanjang Blok M
10. Kebun binatang Ragunan
11. Makan kerak telor
12. Selendang mayang
13. Ketoprak

Selasa, 04 Desember 2018

AMBISI VS MIMPI ADALAH PENGHAMBAAN.TITIK.

Dalam dreambook saya di 2018 ini, semua hampir tercapai, hanya beberapa yang masih proses. Ini adalah salah satu ambisi atau terwujudnya sebagian mimpi? 

Pagi kemarin dapat kiriman buku dengan judul Menjadi Hamba karya kang sonny. MasyaAllah, baru buka bab I sudah terenyuh, silakan disimak ya. Jika masih penasaran cari dan baca bukunya sampai selesai. Asli dari hati. :)

Ada satu ambisi yang akan membuat hidup bahagia. Ambisi itu adalah keridhoanNya. Ambisi, untuk menjadi hamba yang diridhoiNya. Titik.

Seperti yang dikatakan Imam Syafi'i:

"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan atasmu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap kepada selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-NYa" 

HARI BARU

 Selamat Siang! kembali bertemu lagi, maafkan vacum yang begitu lama karena satu dan lain hal juga status baru aku. Alhamdulillah resmi meni...