Rabu, 24 Januari 2018

RE-thinking Peran Perempuan

Perbedaan jenis kelamin yang berimplikasi pada fungsi dan peran laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak dipermasalahkan kalau memang merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan tidak ada unsur keterpaksaan dan/atau diskriminasi. Namun ketika dicermati lebih mendalam, perbedaan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini dapat menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Yakni salah satu jenis kelamin terutama yang banyak terjadi pada perempuan terabaikan hak-hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan.
 
Berkaitan dengan potensi yang dianugerahkan kepada laki-laki yang merupakan hak bagi laki-laki, maupun potensi yang dianugerahkan kepada perempuan dan menjadi hak perempuan, oleh karena itu di samping hak laki-laki harus dihormati, maka hak-hak perempuan juga harus diperjuangkan terutama oleh para laki-laki. Justru dengan masing-masing potensi yang dianugerahkan Allah Swt. kepada laki-laki maupun perempuan itu merupakan hak manusia yang harus diperjuangkan untuk mencapai kualitas maksimal yang diridlai Allah Swt
wt
Teori konvensional yang beredar di Eropa -demikian pula di seluruh dunia- menyatakan bahwa “tempat perempuan adalah di rumah” dan bukan di ruang publik atau pada tempat kebijakan penyelenggaraan kehidupan dibuat.

Semua hak-hak demokrasi yang susah payah diperjuangkan, semisal, Revolusi Prancis hanya diberikan kepada Kaum Adam hingga seakan-akan perempuan tidak berperan apapun, atau lebih buruk lagi, hanya “hak milik” laki-laki. Budaya ‘patriarchal’ telah membawa kaum perempuan ke lembah penindasan di Iran (film karya Dariush Mehrjui “Leila” dan “Bemani” judul asli, atau “To Stay Alive” judul untuk festival), Mesir (film “Woman at the Point Zero” (1979) karya novelis dan feminis Mesir, Nawa al-Sa’dawi), Afganistan (film “Kandahar” atau Safar e Gandehar (judul asli) atau The Sun Behind The Moon (untuk judul festival)), Indonesia (ketika kartini berusia remaja, keluar rumah saja tabu apalagi untuk bersekolah), dan di mana-mana.

Inilah yang mengusik seorang perempuan Perancis, Olympe de Gouges, menerbitkan Deklarasi Hak-hak Kaum Wanita (1789), sebagai reaksi terhadap kesengajaan tidak dicantumkannya kaum Hawa dalam Deklarasi hak-hak manusia (Man) yang dinyatakan para pelaku Revolusi Perancis. Keadaan tak jauh berbeda yang terjadi pula di Amerika memunculkan Susan B. Anthony (1820 – 1906), seorang pemimpin gerakan anti perbudakan dan hak pilih bagi perempuan. Perjuangan untuk mencapai kesamaan hak bagi kaum wanita berjalan lambat di abad ke-XIX hingga tidak heran kaum Hawa tidak segera meperolehnya. 

Kaum wanita Australia, misalnya, baru mendapatkannya pada tahun 1902, perempuan Inggris pada tahun 1918, dan kaum Hawa Amerika, melalui amandemen konstitusi ke-9, baru mendapatkannya pada tanggal 26 Agustus 1920. Adapun kaum ibu Perancis baru memperoleh hak paling dasar dari sebuah masyarakat demokratis itu pada tahun 1945. Tradisi ini ternyata sudah ada sebelum agama Kristen dan diikuti oleh orang-orang Yunani dan Romawi, pada masa itu ada suatu kebiasaan dari saudara-saudara sebangsa dan setanah air mereka untuk menistakan perempuan. Di kalangan bangsa Romawi membuang bayi-bayi perempuan itu dibenarkan, bahkan secara implisit dikodifikasikan dalam hukum.  

“Ayah diharuskan membesarkan semua anak laki-laki mereka dan hanya satu anak perempuan; karena pembunuhan bayi sudah lazim terjadi di kalangan bangsawan Romawi, dan tidak berkaitan dengan kebutuhan material”. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga berlangsung di Mesir di mana perempuan biasa dipersembahkan sebagai tumbal bagi sungai Nil. 

Seolah menjadi spirit yang sama, bangsa Aztec Inca juga melakukan pemberian kurban berupa perempuan muda untuk dewa mereka, bahkan beberapa suku Amazon (ini berbeda dengan kisah fiktif suku Amazon) juga sampai saat ini masih ada tradisi mengubur anak-anak perempuan.

Anehnya, mereka yang menjalankan adat untuk memperoleh “kecintaan dan berkah” para dewa mereka itu tidak mempersembahkan sesaji berupa laki-laki, dalam pengertian mereka kurban perempuan akan lebih disukai oleh dewa karena korbannya berkedudukan tinggi dalam pandangan mereka.

Konon penaklukan perempuan bermula pada masa Nomaden, saat kebiasaan mengembara berburu lebih memberikan dominasi pada lelaki untuk pegang kendali pimpinan keluarga. Masa Nomaden digambarkan sangat keras dan butuh otot serta mobilitas fisik, secara tidak langsung, memposisikan wanita berada dibelakang, terutama karena alasan alami, hamil dan memelihara bayi.

Disisi lain psikologi ‘Peperangan’ juga menjadikan kaum perempuan jadi pemberi comfort lahir batin bagi prajurit yang stress, suasana batin kaum laki-laki pemburu yang lelah dan tegang akibat mempertaruhkan nyawa menuntut kaum Hawa menghormati, melayani, dan mengelukan mereka sebagai pahlawan.

Maka sangat logis bila saat Jaman Tembaga peran bagi perempuan melingkupi banyak hal semisal ; berkebun, bekerja di rumah, dll, sedangkan kaum Adam menambang. Inilah yang pada gilirannya, memunculkan tesis kontroversial yang menjustifikasi budaya Patriarki, “Pada awalnya, laki-lakilah yang menjadi pelaku utama perekonomian karena kondisi alam-ketika itu kurang memungkinkan kaum perempuan terjun berburu mencari makanan ke hutan.”

Perempuan dari Masa ke Masa
Dari masa ke masa, budaya patriarki yang merupakan sisi mata uang dengan sistem monarki di sisi yang lain bermetamorfosis dan beradaptasi dengan struktur dan sistem yang ada dan menciptakan ketidakadilan baru bagi perempuan. Keterpurukan status perempuan semakin buruk oleh adanya sistem kelas dalam masyarakat feodal dan semakin bertambah mengenaskan bila kebetulan ia anggota kelas minoritas, miskin ( rakyat kebanyakan). 

Kenyataan pahit ini terus berlangsung dalam transformasi corak produksi feodal kepada model kapitalistik terutama di Barat saat meletusnya revolusi industri. Perempuan menjadi sub-ordinat laki-laki, tidak lebih dari mesin reproduksi yang tidak memiliki hak sosial, politik, dan ekonomi. 

Jauh sebelum Muhammad putra Abdillah diutus sebagai rasul, seperti ditunjukkan beberapa bukti arkeologis yang mengisyaratkan penghormatan terhadap “Dewi Ibu” dalam jaman neolitik, peradaban kuno di Timur Tengah sangat menghormati kaum istri. Posisi kaum perempuan yang dominan bahkan lebih tinggi daripada laki-laki ini, seperti juga ditunjukkan oleh kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan tersebut, berlangsung hingga millennium kedua (2) bahkan menjadi aturan di beberapa kawasan seperti Mesir, Mesopotamia, Elam, Kreta, dan di kalangan bangsa Yunani, Phoenica. 

Kondisi tersebut berubah seiring dengan pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks karena mulai ada persaingan kepentingan antar kelompok. Hal ini pada akhirnya menghasilkan dominasi laki-laki dan struktur sosial berdasarkan kelas di mana kalangan militer dan elit istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga lalu bercorak patriarchal dan dirancang untuk menjamin paternalitas pewaris kekayaan; dan kepentingan kaum Adam dalam mengendalikan seksualitas perempuan pun terlembagakan serta dikodifikasi oleh negara. 

Meningkatnya keragaman dan spesialisasi masyarakat perkotaan juga pertumbuhan populasi yang tidak hanya terdiri dari satu jenis profesi turut memperkuat subordinasi dan marjinalisasi kaum Hawa, menurunkan status mereka yang, pada gilirannya, meruntuhkan kepercayaan terhadap para Dewi.

Proses yang mengawali kebangkitan para Dewa ini berlangsung turun temurun melampaui beberapa generasi sehingga mewujudkan sebuah peradaban baru yang tanpa disadari telah menggantikan peradaban sebelumnya.

Hal tersebut mempengaruhi hukum-hukum yang berlaku dari matriarchal menjadi patriarchal yang secara keseluruhan lebih keras dan mengekang perempuan. Beberapa ketentuan hukum yang berlaku di zaman ini antara lain Kode Hammurabi (sekitar 1.752 SM) dan hukum Assyria (sekitar 1.200 SM). Setelahnya muncul beberapa aturan yang dilegalkan dalam Kode Hammurabi misalnya membatasi waktu bagi seorang laki-laki untuk dapat menggadaikan istri dan atau anak-anaknya selama tiga tahun dan melarang tegas memukul, atau menyakiti agunan gadai. 

Belakangan hukum Assyria menghapus langkah-langkah protektif ini dan secara tegas membolehkan memukul agunan gadai tersebut [perempuan], menusuk telinga, dan menjambak rambut mereka. Hukum Assyria juga membolehkan suami menjambak (rambut) istrinya, memotong atau memelintir telinganya tanpa dikenai hukuman. 

Klausul yang lain menyebutkan kaum pria bisa dengan mudah menceraikan istrinya khususnya bila mereka tidak bisa melahirkan anak, tetapi (sang istri) berhak mendapatkan uang denda (uang perceraian) dan (si suami) diharuskan mengembalikan mahar. Sedangkan Undang-undang hukum Assyria membolehkan suami memutuskan istrinya tanpa syarat. “Bila seorang tuan besar ingin menceraikan istrinya, bila hal itu adalah kemauannya, ia bisa memberinya sesuatu, bila hal itu bukan kemauannya, istri akan pergi dengan tangan hampa (183)”. 

Ketentuan lainnya menyebutkan bahwa istri yang menentang suaminya boleh dirontokkan giginya dengan batu bata, sedangkan Kode Hammurabi menetapkan bahwa seorang anak harus dipotong tangannya bila memukul ayahnya (kode 175). Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan mempersembahkan anak perempuannya kepada para dewa, ia juga berhak menggadaikan atau menjual istri dan atau anak-anaknya untuk membayar hutang. 

Begitu juga aturan-aturan tentang hijab yang pada masa itu lebih didasarkan kepada kepentingan politik rasialis daripada keamanan dan perlindungan bagi perempuan. Hukum Assyria memberlakukan hijab bagi istri dan anak dari “tuan besar” atau bangsawan, tetapi pekerja seks dan budak dilarang mengenakan hijab dan pelanggarnya dikenakan hukuman berupa cambuk, dituangi ter (kepalanya), atau dipotong telinganya (hukum-hukum 183). 

Perempuan Dalam Agama-Agama.
Dari sekian banyak agama yang dianut manusia, Sebenarnya Islam tampak revolusioner [ pada awalnya Muhammad dan Khadijah bersama-sama menggerakan reformasi revolusioner pada tatanan kehidupan] dalam merubah peradaban manusia, salah satunya dalam hal keadilan dan penghargaan terhadap perempuan. Beberapa indikasi perubahan peradaban manusia pada perempuan yang telah dilakukan Islam antara lain :
Menentang adat penistaan perempuan yang dilakukan bangsa Arab, dari hal mengubur hidup-hidup anak perempuan, pembatasan jumlah istri (dari 8-10 dijadikan 4 saja), hukum bagi waris untuk perempuan, hingga hak penentuan Mahar (mas-kawin) diberikan sepenuhnya pada perempuan.
Seiring lalu waktu, paska kembalinya Contatinopel ke tangan pasukan salib, hukum-hukum atau nilai-nilai revolusioner Islam pun berkembang ke wilayah Eropa, Asia hingga benua baru (Amerika). Memang masih banyak perdebatan di kalangan ilmuan sejarah dalam hal pengaruh Ideologi Islam ini (setidaknya BBC milik Inggris pun memulai proyek tela’ah khusus tentang pengaruh ideologi Revolusioner Islam paska tragedi di Constatinopel)
Agama juga sangat diharapkan para penganutnya untuk membuat formulasi suatu sistem sosial yang dapat memberikan kebahagiaan (happiness), kebebasan (freedom), harga diri (dignity), dan kedamaian pada manusia, alam, dan ciptaan lainnya

Agama memiliki peran yang amat penting terhadap struktur masyarakat karena, selain menjadi pedoman hidup yang fundamental bagi manusia, juga memilki pengaruh fungsional (Zakiyuddin Baidhawy, (ed.), Wacana Teologi Feminis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hal. vii-viii). Meskipun demikian tak dapat dipungkiri bahwa agama bisa ditafsirkan sedemikian rupa hingga menjadi alat untuk legitimasi struktur penindasan atau membentuk stereotype patriarkhis pada umat manusia.

Ayat-ayat dalam Al Quran seperti yang dinyatakan Surat al-Furqan [25]:32 dan al-A’la [87]:6, (Sebab turunnya ayat ini atau asbabun-nuzulnya dalam beberapa tahap sesuai konteks persoalan yang ada dalam masyarakat jaman Muhammad hidup). Ayat terakhir dari suatu persoalan harus diambil sebagai penetapan final Al Quran tentang suatu hal, sedangkan ayat-ayat sebelumnya dibatalkan (mansukh) dalam arti ayat-ayat itu hanya berlaku pada zaman permulaan Islam saja. 

Ayat-ayat tersebut masih termuat di dalam ‘Mushhaf’ karena, setiap kali muncul gerakan baru, selalu ada “suatu permulaan”, dan ayat-ayat yang lebih awal relevan dalam membantu umat Islam untuk memahami proses dakwah dan metodologinya dalam mengubah masyarakat. Ini berarti proses kebudayaan manusia yang terekam dalam kitab suci tidak seharusnya menjadi standar mutlak.

Sebagaimana, pada zaman perbudakan di AS (Wanita AS dengan warna kulit apapun memiliki hak pilih yang sama 50 tahun setelah amandemen konstitusi ke-14 yang dibuat pada tahun 1868) dan Apharteid di Afrika Selatan, “kaum hitam” ditindas dengan pembenaran dari kelompok-kelompok agama tertentu beserta otoritas yang dimilikinya telah menyalahgunakan kitab suci, kaum Hawa juga ditindas dengan justifikasi mereka yang mengalami kekeliruan dalam menafsirkan ajaran. 

Di tengah-tengah masyarakat religius kaum perempuan ditindas atas nama Tuhan. Sungguh ironis bahwa banyak bukti semakin “religius” seseorang [baca:pria atau wanita], justru makin besar sifat menindas terhadap perempuan. Bahkan mereka yang mempercayai dominasi kaum laki-laki malah menulis buku-buku, “Status Kaum Perempuan dalam Islam”, yang umumnya untuk konsumsi masyarakat non-Islam.

Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan yang sakral itu justru terjadi dengan penggunaan teks-teks agama akibat metode pembahasan para “pemuka” agama terhadap teks-teks ajaran tentang perempuan yang sangat ‘male-based’ (berdasar-kelelakian) . Hal ini terjadi karena Kitab Suci diperankan normatif (menentukan) bagi kehidupan dan pemikiran umat hingga secara tidak langsung, Kitab Suci dijadikan alat pelestarian superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. 

Atau meminjam istilah E. Schussler Fiorenza, Kiriosentrisme. Bahkan, beberapa teolog feminis akhirnya mengambil kesimpulan Kitab Suci merupakan (salah satu) “sumber dan asal-usul penindasan terhadap kaum perempuan”. (Robert Hamerton-Kelly, “God the Father in the Bibel and in the Experience of Jesus : the State of the Question”, Concilium 143, 1981, hal 95.)

Kesimpulan ini menemukan pembenarannya pada kasus hilangnya religi Aluk To Dolo di kalangan masyarakat Tana Toraja setelah masuknya agama Kristen Protestan yang dibawa oleh Badan Pekabaran Injil Belanda Gereformerde Zending Bond (GZB) yang membangun sarana kesehatan, sekolah, dsb. Secara struktural, masyarakat Tana Toraja sebelum tahun 1913 menganut sistem kekerabatan bilateral dan unsur-unsur matrifokal yang memberikan perempuan peran sentral dan sama-sama mempunyai peran penting bersama dengan kaum Adam.

Ajaran Aluk To Dolo menempatkan kaum istri sebagai To Burake yang berarti bahwa perempuan merupakan gudang pengetahuan keagamaan sehingga mereka ditempatkan sebagai pemimpin upacara puncak/tertinggi dari seluruh rangkaian upacara ajaran Aluk To Dolo. Perempuan yang, dalam religi Aluk To Dolo, cenderung memiliki hubungan setara dan saling melengkapi bersama dengan laki-laki akhirnya terpinggirkan oleh beberapa ayat Al Kitab yang diskriminatif atau bias jender.

Dalam sejarah peradaban kaum muslimin, penerjemah dan penafsir ayat senantiasa berasal dari pihak laki-laki sedangkan mufassir dan muhaddits dari kalangan perempuan baru muncul belakangan. Hal inilah yang antara lain dituding sebagai penyebab lebih diunggulkannya kepentingan kaum adam [Pria;laki-laki]. Tafsir yang kental dengan unsur misoginis tersebut terjadi, di samping karena penafsiran agama telah berumur ribuan tahun ditambah eskalasinya dengan budaya patriarchal, adat istiadat, stereotype, dan mitos-mitos tentang perempuan dan kaum Adam, juga karena setiap laki-laki mempunyai perasaan dan kecenderungan misoginis yang telah terpatri dalam benak mereka. 

Laki-laki, misalnya, cenderung mempersepsikan dirinya sebagai pemimpin dan memandang perempuan harus tunduk kepada mereka. Perlu juga mengingat bahwa dahulu kala sejumlah ulama (seseorang yang mengkabarkan ajaran agama), adalah pendukung para raja yang menolak hak-hak luhur yang telah diberikan Allah kepada kaum Hawa. Hingga kaum (konsumen ajaran ulama) menerimanya begitu saja tanpa pertimbangan apapun (taklid atau menelan ajaran mentah-mentah). Sayang sekali bahwa umat (Islam) yang sudah mulai melawan kekuasaan para raja mayoritas tidak melihat hubungan antara sistem kerajaan dengan proses penindasan terhadap kaum perempuan yang ditegakkan atas nama ajaran (Islam) itu. 

Hal ini wajar karena kaum muslimin (terutama kalangan perempuan) memang tidak dimungkinkan dapat melihat ajaran (Islam) sebagai kekuatan pembebas ketika (pemahaman terhadap) ajaran (Islam) masih dicengkram kuat oleh ulama yang berpikir tribalis dan chauvanis kaum pria yang telah menurunkan peran mereka dalam kehidupan.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka yang mampu “menyadari keadaan” menjadi orang-orang sinis dan kemudian menolak ajaran (Islam) serta melakukan “segala” yang mereka inginkan. Gerakan perempuan di Barat, misalnya, pada umumnya menyorot secara sinis dan curiga kepada Islam yang dinilai sebagai ajaran yang memarjinalkan perempuan dan menjadikan kaum Hawa sebagai manusia kelas dua di bawah bayang-bayang kaum pria.

Mereka tidak sadar bahwa banyak sekali faktor yang bisa melahirkan kesenjangan yang jauh antara apa yang dikatakan para ayatullah dan maulana dengan apa yang ditunjukkan oleh Al Quran dan Al Hadits, apa yang dikatakan para Brahmana dan Pertapa dengan apa yang diajarkan oleh Weda; dan menilai suatu agama harus langsung kepada ajaran-ajarannya, bukan kepada realitas sosiologis pemeluknya!

Kita perlu mengkaji ulang benarkah apa yang kita pahami selama ini berasal dari teks keagamaan (baca : kitab suci) ataukah berasal dari narasi masalah kemanusiaan yang sebenarnya merupakan rekaman proses kebudayaan lalu kita sebut sebagai ajaran. Ini sangat penting terutama tatkala kita tahu bahwa realitas sejarah kaum muslimin (pasca-khulafa rasyidin) hanya dapat dibaca dalam konteks sejarah para despot, tiran, dan para raja.

Sementara narasi teks kitab suci dibuat bersusunan mitis dalam arti wacana di dalamnya yang menceritakan proses kesadaran kolektif sekelompok masyarakat yang sedang mengukir proyek tindakan sejarah baru (un nouveau project d’action historique) yang amat manusiawi dan sangat profan.

Mungkinkah konsistensi para ulama dalam menyalahtafsirkan, mengabaikan, bahkan menghilangkan ajaran-ajaran yang mendukung kaum ibu kita adalah suatu “kebetulan” semata? Suatu kebetulan yang berlangsung lebih dari 1.000 tahun di bawah kekuasaan para raja dan otokrat dengan (menciptakan) sistem sosial budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat sejarah kehidupan?

Rasulullah SAW diutus dengan misi rahmat bagi semesta (QS al-Anbiya [21]:107) yang antara lain kemudian “diterjemahkan” beliau dengan kalimat, “Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. Pernyataan ini merupakan prinsip dasar yang berlaku secara umum untuk menata kembali peradaban umat manusia di muka bumi supaya memiliki budi pekerti yang luhur. Misi ini sesuai sekali dengan realitas sosial masyarakat Timur Tengah sebelum Islam yang sangat tidak menghargai prikemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HARI BARU

 Selamat Siang! kembali bertemu lagi, maafkan vacum yang begitu lama karena satu dan lain hal juga status baru aku. Alhamdulillah resmi meni...