Mengejutkan bangetlah dengan kemacetan yang ada dimana-mana disetiap kota yang dikunjungi. Duh gak ada apa kota yang tenang dan terlepas dari hiruk pikuk kemacetan dan polusi. ;p
Lalu kota mana sajakah yang termasuk ke dalam 10 Kota termacet di
Indonesia ? Berikut daftarnya berdasarkan Data Direktorat Bina Sistem
Transportasi Perkotaan (BTSP) Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan
dengan menggunakan pengukuran VC (volume to capacity) ratio
mengindikasikan volume kendaraan sudah mendekati kapasitas jalan yang
tersedia. Jika VC ratio di atas 0,70%, maka kondisi jalan bisa
dipastikan sudah padat.
1. Bogor
Kota hujan yang terkenal dengan kesejukan dan ketenangan ternyata
sudah tidak lagi menjadi kota yang ramah bagi pengguna pengendara
bermotor, secara rata-rata pengendara hanya bisa melaju 15,32 km/jam
dengan VC ratio 0,86.
2. DKI Jakarta
Meskipun DKI Jakarta sudah memiliki banyak tol dalam kota, juka mulai
di kembangkan transportasi umum, namun jumlah pengendara yang
membludak, bahkan dari pengendara luar Jakarta, maka jika di hitung
rata-rata kecepatan di jakarta adalah 10-20 km/jam dengan VC ratio 0,85.
3. Bandung
Paris van java, begitulah julukan kota modis yang satu ini. Namun
saat ini kota Bandung semakin padat oleh pengendara, bahkan kemacetan
terus menjamur, apalagi jika akhir pekan karena bandung yang banyak
dikunjungi wisatawan luar kota jika di akhir pekan. Kecepatan rata-rata
di kota kembang 14,3 km/jam dan VC ratio 0,85 sama dengan DKI Jakarta.
4. Surabaya
Ibu kota Jawa Timur juga mulai terjangkit macet dengan kecepatan rata-rata yang di capai 21 km/jam dan VC ratio 0,83.
5. Depok
Kota kecil di pinggiran Ibu kota ini dari dulu memang sudah terkenal
dengan kemcetannya, kecepatan yang rata-rata hany 21,4 km/jam dan VC
ratio 0,83 betapa macetnya kota Depok ini.
6. Bekasi
Bekasi tidak berbeda jauh dari Depok. Mulai di bangunnya banyak
perumahan-perumahan di Kota Ini menjadikan kemcetan juga meningkat.
Orang rata-rata hanya bisa memacu kendaraan 21,86 km/jam dengan VC ratio
0,83.
7. Tangerang
Kota di barat Ibu Kota Jakarta ini merupakan Kota yang padat, baik
dari segi penduduk maupun kendaraannya. Rata-rata penduduk kota ini
bekerja di Jakarta, sehingga ketika jam-jam berangkat ataupun pulang
kerja maka kemacetan sudah menjadi barang pasti. Rata-rata kecepatan
yang hanya 22 km/jam dengan VC ratio 0,82 membuktikan hal tersebut.
8. Medan
Medan merupakan kota metropolitan terbesar di pulau Sumatera. Ini
juga yang menjadikan pengendara di kota ini hanya bisa memacu rata-rata
kendaraannya 23,4 km/jam dan memiliki VC ratio 0,76.
9. Makassar
Sebagai kota terbesar di Wilayah Indonesia Timur, Makassar memiliki
kecepatan rata-rata pengendara yaitu 24,06 km/jam dan VC ratio 0,73.
10. Semarang
Semarang, Ibu Kota Jawa Tengah ini memiliki kecepatan rata-rata 27 km/jam dan VC ratio 0,72.
Ini merupakan pendapat pribadi dari
penulis, ditinjau melalui pengalaman bertemu kemacetan setiap harinya,
dari membaca banyak artikel, dan pandangan masyarakat mengenai kemacetan
ini sendiri. Di bawah ini ada 10 faktor dari penyebab kemacetan yang tidak seharusnya menyebabkan kemacetan, check it out!
1. Mobil yang hanya berisi supir
Setelah memikirkan dengan seksama,
penulis beranggapan bahwa salah satu penyebab kemacetan adalah banyaknya
orang yang lebih memilih mengendarai kendaraan beroda empat, dibanding
roda dua, walaupun hanya seorang diri.
Jika diperkirakan, ukuran sebuah mobil hampir setara dengan ukuran empat buah sepeda motor matic. Hanya karena ingin membuat diri sendiri
menjadi nyaman berkendara, tidak terkena asap sambil mendengarkan musik,
malah menyusahkan pengguna kendaraan roda dua yang berdesak-desakan
dalam kemacetan.
Pada saat penulis memperhatikan sekeliling di saat kemacetan, dari 10 mobil yang diamati, 8 diantaranya hanya berpenumpang 1 orang, yang tentunya memakan sangat banyak ruas jalan dan menghambat arus kendaraan lain. Lebih parah lagi kalau orang tersebut juga buru-buru, sampai ingin menyelip semua kendaraan yang ada di depannya, dan menghalangi ruas jalan yang seharusnya dapat dilewati pengendara roda dua (lajur kiri).
2. Terlalu Kepo
Hal ini menjadi salah satu faktor yang menggelitik dari penyebab kemacetan lalu lintas di Indonesia.
Pada saat ada suatu kejadian tertentu,
dimana banyak orang yang berkumpul di suatu titik, baik itu hanya
sekedar berkumpul dan bercengkrama. Berdasarkan pengalaman pribadi, penulis
pernah melalui jalan protokol di Kota Makassar, dan tanpa sebab yang
jelas di hari Minggu pagi yang cerah, yang umumnya jalan bisa dibilang
tidak ramai, dan persentase kemacetan yang terjadi sangat kecil.
Suatu hari, jalanan tersebut sangat
penuh, bahkan macet sampai 2 kilometer panjangnya, jadi terpaksa terus
mengikuti lambatnya arus kendaraan disana karena tidak bisa memotong
lewat jalur lain.
Setelah sekitar 30 menit berjalan, hanya sekitar kilometer jauhnya, akhirnya sampai di ujung kemacetan tersebut, dan ternyata di ujungnya hanya ada banyak
orang yang berkumpul di Circle K dengan menggunakan jaket kulit hitam
(15 – 20 orang), APA?? dan saya melihat di sekitar saya, sesama
pengendara yang lain, memperlambat jalannya kendaraan mereka (10 km per
jam), dan terus menengok ke arah kumpulan tersebut selama 5-10 detik, dan ironisnya menimbulkan kemacetan yang cukup panjang. Nyatanya, kemacetan ini tidak seharusnya terjadi pada saat tersebut, tetapi karena masyarakat Indonesia terlalu kepo sehingga terjadi kemacetan.
3. Terlalu lambat
Terlalu lambat yang dimaksud disini adalah pengendara yang berada di barisan paling depan.
Apalagi di jalan yang sempit, sehingga memperlambat arus kendaraan, dan menyebabkan kemacetan.
Penulis seringkali menemukan kondisi seperti ini di jalan raya, dan sehingga akan timbul perasaan macet tersebut.
4. Ugal-ugalan
Terjadi kemacetan karena pengendara yang
lain menjadi “takut” dengan pengendara lain yang ugal-ugalan, takut
disenggol, dicopet, dll.
Sehingga akan memperlambat laju kendaraannya hanya agar pengendara ugal-ugalan tadi pergi jauh kedepan dan tidak terlihat lagi.
Seperti halnya di nomor 3 diatas, terlalu lambat dalam berkendara dapat menyebabkan kemacetan.
5. Tidak mematuhi lalu lintas
Hal ini berhubungan dengan nomor 4 diatas,
Salah satu hal yang menyebabkan kemacetan
ini adalah pada saat pengendara berhenti di depan marka pembatas jalan
di lampu merah, atau berhenti di zebra cross.
Hal ini dapat menghambat bahkan sampai menghalangi arus kendaraan di jalur yang berlawanan.
Karena keegeoisan pada pengendara seperti ini, akan menimbulkan kemacetan yang berlanjut. Karena jika di satu jalur kendaraan telah
menumpuk, maka di jalur yang lain akan menumpuk pula, jika tidak ada
pihak yang bertugas memecah jalur tersebut.
6. Komunitas kendaraan mewah yang dikawal polisi seenaknya saja memotong lalu lintas
Ini hal yang membuat penulis paling
risih, coba saya bayangkan, sudah panas-panasnya menunggu lampu merah,
terus pada saat lampu hijau, Ehh, tiba-tiba datang polisi bermotor
yang menahan lajur kendaraan yang sedang lampu hijau, hanya untuk
mempersilahkan komunitas kendaraan mewah, motor besar, dll. untuk dapat
memotong jalur kita.
Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut harus dilakukan?
Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut harus dilakukan?
Sebenarnya apa yang membuat komunitas
tersebut sangat terburu-buru, apakah mereka tidak memikirkan bahwa
setiap pengguna jalan juga bepergian untuk memenuhi tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing.
7. Sering berpindah jalur secara tiba-tiba
Kesalahan ini sering dilakukan oleh
pengendara dibawah umur dan ibu-ibu yang tidak mengenakan helm, dan
tidak mematikan lampu weser motornya. Hal ini mungkin tidak perlu dijelaskan panjang lebar, karena hal ini sering dibicarakan menjadi meme dan di media sosial.
Begitu pula dengan anak dibawah umur,
yang seringkali ugal-ugalan dan tidak mengetahui dan berpikir mengenai
cara berkendara yang benar dan menghargai pengemudi lain. Itulah mengapa seharusnya anak dibawah
umur belum boleh mengendarai kendaraan, karena belum bisa berpikir
logis, dan masih egois terhadap dirinya sendiri. Walaupun ironisnya, ada anak dibawah umur
yang telah diIZINkan oleh orang tuanya berkendara ke sekolah mereka,
yang nyatanya itu adalah hal bodoh untuk dilakukan orang tua. Harusnya orang tua memberikan teladan bagi anak-anak mereka.
8. Mobil menutupi seluruh badan jalan
Sebelum dijelaskan mengenai poin yang ini, penulis ingin kamu menjawab pertanyaan ini,
Apakah pada saat kamu mengendarai mobil,
kamu lebih memilih berada di belakang mobil dengan kecepatan yang sama
dengan kamu, atau lebih memilih untuk berpindah ke jalur lain yang
kosong?
Kamu lebih memilih yang mana?
Karena tingginya gengsi, penulis melihat
sebagian besar orang jika berhadapan dengan situasi yang diatas, akan
lebih memilih untuk berpindah ke jalur lain, walaupun kecepatannya sama
dengan mobil lain yang di depan,
Sehingga pengendara yang seperti itu akan menutupi badan jalan, bahkan seluruh badan jalan.
Jadi, jadilah pengendara, baik itu mobil
maupun motor, yang tidak egois, tetap mempersilahkan pengendara lain
untuk mendahului kamu, atau paling tidak dengan mendahului pengendara
yang di depan tersebut.
9. Pendemo yang seenaknya saja menutup jalan raya
Ini juga sebenarnya menjadi polemik, entah itu dari sisi masyarakat (pengguna jalan) maupun dari mahasiswa. Saya ingin meminta pendapat kamu lagi,
Apakah kamu setuju dengan mahasiswa yang
menyampaikan penolakan dan pendapatnya di jalan raya yang disertai
dengan penutupan jalan?
Jawabannya bisa berbeda-beda, ada yang setuju ada juga yang tidak setuju.
Coba kamu berpikir sebagai mahasiswa, apa sebenarnya yang kamu lakukan dalam mendemo?
Tidak bisa menjawab?
Terus, ngapain kamu demo?
Penulis lebih mengarah ke arah tidak setuju, mengapa??
Mengingat tujuan utama dari mahasiswa
melakukan demo adalah untuk menyuarakan aspirasi MASYARAKAT kepada
PEMERINTAH, tidak seharusnyalah mahasiswa sangat egois, untuk mendemokan
masalah pribadi lembaga mahasiswa, dan melakukan aksi demo yang
menyusahkan MASYARAKAT.
Dapat maksud saya?
Sangat ironi, ketika kamu berpikir bahwa
aspirasi yang ingin disampaikan adalah aspirasi dari MASYARAKAT, tetapi
dilakukan dengan cara yang juga merugikan MASYARAKAT.
Menjadi ambigu, ketika kamu melakukan demo seperti itu, karena percuma kamu mau membawa aspirasi masyarakat, tetapi harus merugikan masyarakat.
Menjadi ambigu, ketika kamu melakukan demo seperti itu, karena percuma kamu mau membawa aspirasi masyarakat, tetapi harus merugikan masyarakat.
10. Acara nikahan
Acara nikahan yang dilangsungkan di
Indonesia seringkali dilakukan di jalan raya, dengan mengambil separuh
badan jalan ataupun seluruh badan jalan. Padahal nyatanya, hal tersebut merugikan pengendara maupun undangan yang hadir disana. Pengendara dirugikan karena harus memutar dan membuat macet arus lalu lintas. Undangan dirugikan pula, karena memakan semua polutan, dan logam berat seperti timbal di dalam makanan mereka, yang dampaknya sangat buruk bagi kesehatan.
Apa yang harus dilakukan pengendara dan orang tua yang baik?
Cara yang paling baik adalah dengan cara teladan untuk mendidik anak-anak, dan adik-adik kamu di Indonesia.
Karena sudah sewajarnya seorang anak
manusia untuk menganggap benar dan mengikuti hal yang dilakukan oleh
orang terdekatnya (orang tua, saudara, sepupu), seperti halnya balita
yang mengikuti apapun yang dikatakan oleh orang tuanya dalam belajar
berbicara.
Begitu terus sampai anak berusia min. 15 tahun, dan dapat berpikir lebih baik dan logis dibandingkan balita.
Jadi seorang tua dapat memberikan contoh
dengan cara sederhana, seperti berkendara selalu mengenakan helm, tidak
melanggar lampu merah, dan tidak mengizinkan anak dibawah umur
mengendarai kendaraan di jalan raya.
Tidak egois dalam berkendara
Hal ini juga perlu dilakukan sebagai
pengendara yang baik, dengan memberi pengendara lain jalur untuk
mendahului, dan tidak egois menutup seluruh badan jalan.
Lebih baik menggunakan kendaraan roda dua
dibanding dengan menggunakan mobil hanya sendirian di jalan protokol
yang rawan terjadi kemacetan.
Apakah hal tersebut diatas juga kamu alami?
Ayo lakukan perubahan demi menanggulangi
kemacetan di Indonesia, karena ternyata penyebab kemacetan di Indonesia
tentu saja ada di tangan kamu selaku yang turun langsung di jalan raya.
Sekaligus, kamu sebagai orang yang dapat memperbaiki kemacetan di Indonesa tersebut, dengan berpikir logis dalam berkendara.
Revolusi mental!
Kemacetan dipandang sebagai tidak seimbangnya
rasio panjang jalan dengan jumlah kendaraan. Ketika jumlah kendaraan
kian meningkat, solusinya adalah menambah jaringan jalan. Namun jaringan
jalan baru tetap tak bisa mengurangi kepadatan lalu lintas. Pemecahan
masalah kemacetan tersebut kurang tepat dilaksanakan karena
penyelenggaraan transportasi Jakarta masih menggunakan pendekatan
penyediaan infrastruktur untuk mengantisipasi volume kendaraan di masa
depan. Penyediaan angkutan massal untuk mengatasi kemacetan Jakarta baru
bisa terselenggara tahun 2004. Setahun sebelumnya terlontar ide untuk
membatasi penggunaan kendaraan dengan program three in one.
Tujuannya untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke busway. Namun
program yang mewajibkan satu mobil untuk membawa penumpang minimal tiga
orang tersebut hanya memindahkan kemacetan ke ruas jalan lain. Peran bus
transjakarta yang sudah beroperasi sembilan tahun pun juga belum
maksimal karena belum bisa sepenuhnya menarik minat pengguna kendaraan
pribadi.
Langkah pembatasan kendaraan dan busway tersebut
sebenarnya sudah tepat. Namun penerapannya terbalik. Menurut Ellen SW
Tangkudung, Kepala Laboratorium Transportasi Departemen Teknik Sipil UI,
langkah yang tepat untuk mengurangi kemacetan adalah menyediakan
angkutan massal yang memadai terlebih dulu. Adanya angkutan massal, akan
menarik orang untuk beralih ke transportasi massal. Selanjutnya
diperlukan kebijakan pembatasan kendaraan, untuk mendorong penggunaan
angkutan massal secara maksimal.Penyediaan angkutan publik jangan sekadar pada armada
dan jaringannya saja, tapi juga sarana pendukungnya. Seperti fasilitas
pejalan kaki, park and ride, jadwal yang teratur, dan waktu
tunggu yang singkat. Hal tersebut juga menjadi faktor penting untuk
menarik orang menggunakan angkutan umum. Proses mendorong orang menggunakan angkutan publik perlu waktu yang
lama dan tidak bisa instan dilakukan. Singapura butuh waktu 5-7 tahun
untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum. Sejak
1987 pemerintah Singapura telah mengembangkan jaringan kereta api yang
disebut MRT Singapore. Bersamaan dengan penyediaan jaringan MRT
Singapore, pemerintah menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP)
dan pembatasan kepemilikan mobil. Alhasil dengan pembatasan tersebut
masyarakat Singapura tidak lagi bergantung pada kendaraan pribadi dan
mengandalkan jaringan MRT untuk melakukan mobilitas.
Solusi Baru
Saat ini pemerintah tengah menggodok sejumlah usulan baru untuk
mengatasi kemacetan. Usulan yang termasuk dalam Pola Transportasi Makro
Jakarta (2007) tersebut adalah pembangunan angkutan massal MRT dan
monorel, pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil genap, serta
pembangunan enam ruas jalan tol. Ketiga alternatif solusi tersebut bersaing untuk
dilaksanakan terlebih dahulu. Masyarakat menghendaki penyediaan
transportasi publik terlebih dulu dibandingkan dengan pembangunan enam
ruas tol dan pembatasan kendaraan ganjil genap. Sebanyak 67 persen
responden jajak pendapat Kompas pertengahan maret lalu menginginkan,
pembangunan transportasi massal didahulukan ketimbang pembangunan tol.
Sekitar 65 persen responden juga menilai pembangunan transportasi publik
lebih baik dilaksanakan dulu daripada pembatasan kendaraan ganjil
genap. Harapan masyarakat tersebut akan bertolak belakang
dengan biaya yang dibutuhkan. Biaya penyediaan angkutan monorel dan MRT
relatif besar. Biaya untuk monorel yang dibangun dari dana swasta dan
konsorsium lima BUMN, diperkirakan mencapai Rp 30 triliun. Sedangkan
total biaya pembangunan MRT yang menggunakan dana pinjaman JICA mencapai
Rp 40 triliun.
Investasi cukup besar pun akan dibutuhkan untuk
membangun enam ruas jalan tol. Total biaya yang dibutuhkan Rp 42
triliun. Adapun biaya untuk pembatasan kendaraan jauh lebih murah.
Pembatasan kendaraan hanya merupakan kebijakan yang tidak memerlukan
tender proyek, teknologi tinggi, serta investasi besar. Sekitar Rp 12,5
miliar dibutuhkan untuk pengadaan stiker penanda nomer genap dan ganjil. Jika melihat dari sisi biaya, alternatif penyediaan
transportasi massal akan kalah dengan pembatasan kendaraan. Namun, jika
belajar dari pengalaman masa lalu, pembangunan monorel dan MRT jauh
lebih efektif untuk mengatasi kemacetan. Idealnya pembatasan kendaraan dilaksanakan setelah
jaringan transportasi massal tersedia dan terbangun dengan sempurna.
Jika dipaksakan dilaksanakan sebelum jaringan transportasi massal siap,
akan memunculkan banyak resiko. Bisa saja nasibnya seperti program 3 in 1
yang hanya memindahkan kemacetan ke tempat lain. Atau jumlah kendaraan
semakin bertambah karena masyarakat akan mempunyai lebih dari satu
kendaraan dengan plat ganjil dan genap.
Namun, jika program ini sudah mendesak dilakukan,
harapan terbesar bergantung pada angkutan publik yang ada (busway,
kereta komuter, angkutan pengumpan, serta angkutan umum). Dengan catatan
armada, jaringan, dan fasilitasnya sudah ditambah dan diperbaiki.
Kalau saja belum berhasil dipenuhi, kebijakan tidak akan berjalan
efektif, masyarakat akan tetap menggunakan kendaraan pribadinya dan
semakin menambah kepadatan lalu lintas.
Angkutan Massal
Investasi mahal dari pengadaan angkutan massal tidak akan sia- sia
karena akan bisa mengurangi kemacetan lalu lintas. Tentu saja dengan
ketersediaan angkutan yang memadai yang ditunjang dengan manajemen
pengelolaan yang baik.Angkutan massal ini berperan penting untuk bisa memindahkan orang
dalam jumlah besar secara bersamaan. Angkutan yang beroperasi pada jalur
khusus, mempunyai rute, jadwal tertentu dan tempat pemberhentian khusus
tersebut bisa menggantikan peran kendaraan pribadi yang berpotensi
meningkatkan volume lalu lintas.
Bayangkan sebelum ada bus Transjakarta, 51 mobil yang mengangkut 85
penumpang akan bergerak di jalan. Setelah ada bus Transjakarta, 85
penumpang bisa diangkut hanya dengan satu buah bus. Juga dengan kereta
komuter yang bisa mengangkut lebih dari 1.000 penumpang dalam satu
rangkaian. Tanpa ada kereta, mobilitas dari wilayah pinggiran akan
dipenuhi oleh 250 mobil atau 500 sepeda motor yang tentu saja semakin
menambah kemacetan.
Kapasitas monorel dan MRT bisa disandingkan dengan bus transjakarta
sebagai moda transportasi yang ada di jaringan transportasi dalam kota.
Sampai saat ini, busway yang telah berkembang menjadi 12 koridor bisa
mengangkut 500 ribu orang setiap harinya. Sedangkan MRT yang
direncanakan beroperasi pada dua jalur, diharapkan bisa mengangkut 460
ribu orang per hari. Juga dengan monorel yang ditargetkan bisa membawa
200 ribu penumpang tiap harinya. Rute monorel direncanakan menghubungkan
pinggiran Jakarta di selatan dan timur ke pusat kota, serta rute khusus
ke Bandara dari Pulogadung.
Meski kapasitas monorel dan MRT di bawah busway, tapi jika dibangun
pada jalur yang tepat, sangat bisa membantu pergerakan masyarakat di
dalam kota Jakarta. Masyarakat tidak hanya bergantung pada busway saja
sebagai transportasi massal di dalam kota. Seperti rute MRT tahap I yang
dibangun dari Lebak Bulus – Kampung Bandan. Rute MRT yang melewati Blok
M – Kota akan bersinggungan dengan rute bus transjakarta koridor 1.
Diharapkan sebagian rute yang berhimpit tersebut bisa meningkatkan
efektifitas dua transportasi massal. MRT bisa mengurangi beban busway
koridor 1 yang jumlah penumpangnya paling tinggi. Namun jika tiket MRT
lebih mahal, bisa jadi MRT yang melewati Blok M – Kota tak diminati
masyarakat.
Pembangunan Jalan Tol
Hampir serupa dengan pembangunan monorel/MRT.
Investasi yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun jalan tol juga
sama besarnya. Akan tetapi dampak yang ditimbulkan setelah pembangunan
akan berbeda dengan penyediaan angkutan massal. Pengalaman masa lalu
membuktikan pembangunan jalan semakin memicu peningkatan volume lalu
lintas. Hasil penelitian PT Pembangunan Jaya (2005)
menyebutkan setiap pertambahan jalan sepanjang satu kilometer akan
dibarengi dengan peningkatan jumlah kendaraan (sekitar 1.923 mobil).
Jadi dapat dibayangkan jika enam ruas jalan tol sepanjang 69,6 kilometer
jadi dibangun akan berpotensi meningkatkan jumlah kendaraan menjadi
sekitar 133 ribu unit. Penambahan ratusan ribu kendaraan tersebut akan
semakin menambah padat jalan Jakarta.
Usulan ini juga kontradiktif dengan rencana
pembatasan kendaraan dan pembangunan monorel/MRT. Pemerintah sedang
berupaya menarik minat masyarakat untuk menggunakan angkutan massal dan
mendorongnya untuk meninggalkan kendaraan pribadinya. Tapi adanya
rencana tersebut semakin membuat orang untuk tidak mau meninggalkan
kendaraan pribadinya. Dampak negatif lain yang muncul, seperti meningkatkan
pencemaran udara di Jakarta. Struktur jalan saling silang bersusun di
kota akan merusak keindahan kota. Belum lagi kemacetan yang juga pasti
akan muncul saat proses pembangunan.
Solusi Mengatasi Kemacetan Jakarta
Monorel | MRT | Jalan Tol | Kebijakan Ganjil Genap | |
Deskripsi | – Jalur KA tunggal. – Relnya terbuat dari beton dan roda keretanya dari karet. – Mempunyai jalur khusus rel sendiri yang ditempatkan di atas tiang Diharapkan Kapasitas 200 ribu orang per hari. |
– Mass Rapid Transit berbasis rel jenis heavy rail transit. – Kereta berkinerja tinggi, beroperasi pada jalur khusus (biasanya tanpa persimpangan). – Jalur akan dibangun di dalam tanah (subway) dan melayang Diharapkan 460 ribu orang /hari. |
Enam ruas jalantol |
– Mengatur kendaraan (sepeda motor/mobil) bernomor plat genap atau
ganjil yang boleh melewati sejumlah ruas jalan dalam sehari. – Pembatasan diberlakukan pukul 6.00 – 20.00 pada Senin-Jumat. – Pembatasan tidak berlaku Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional |
Panjang | Panjang : 124,1 km | Panjang : 221,6 km (110,8 km + 23,8 km+87 km) | Panjang : 69,6 km | |
Biaya |
|
Biaya konstruksi: Rp 15 triliun. Total biaya :Rp 40 triliun |
Rp 42 triliun | Anggaran pengadaan stiker Rp 12,5 miliar untuk sekitar 2,5 juta mobil |
Rute |
|
Direncanakan 2 jalur : – Selatan-Utara:Lebak Bulus-Kampung Bandan – Timur – Barat |
1. Semanan-Rawa Buaya-Grogol-Sunter 2. Sunter-Pulogebang-Rorotan 3. Kemayoran-KampungMelayu 4. DuriPulo-Tanah Abang-Casablanca-kampungMelayu 5. Ulujami – Tanah Abang 6. Pasar Minggu-Casablanca |
– Fase I Diberlakukan di Jl. Sudirman, MH Thamrin, Gatot Subroto, Rasuna Said, selama 3 bulan – Fase II ,diberlakukan sepanjang jalan yang dilalui koridor busway timur dan barat. – Fase III, dimulai setelah busway yang dipesan telah datang, dan diberlakukan di seluruh jalan yang dilalui busway dan di dalam lingkar dalam kota |
Sumber: Litbang Kompas/PUT diolah dari berbagai sumber
Metode Jajak Pendapat
Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang
Kompas pada 18-19 Maret 2013. Sebanyak 560 responden berusia minimal 17
tahun dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis dari
buku telepon terbaru. Responden berdomisili di DKI Jakarta. Menggunakan
metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan
penelitian ± 3,9 persen. Meskipun demikian, kesalahan di luar
pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini tidak
dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat.
Namun sejatinya perkembangan jalan dan laju kepemilikan kendaraan pribadi harus dibatasi. Baik dengan regulasi pemerintah atau peraturan perundang lainnya. Jangankan di Kota Besar macam Jakarta, di Desa kecil saja sudah malas untuk berjalan kaki dan naik kendaraan umum. Bagaimana mentalnya bisa terbentuk jika dimanjakan selalu? mikir!
Sumber-sumber:
https://planenvironment.wordpress.com/2013/04/17/angkutan-massal-kunci-mengatasi-kemacetan/
https://frdoom.wordpress.com/2016/09/10/10-fakta-mengejutkan-kemacetan-terkini-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar