Sejak pengelolaan beasiswa oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
(LPDP) berjalan, kesempatan untuk mendapatkan beasiswa master maupun
doktoral terbuka untuk semua kalangan. Hingga kuartal I 2015, total
penerima beasiswa LPDP sudah mencapai 6.800 orang. Salah satu poin yang
unik dari beasiswa ini adalah tidak adanya ikatan kerja setelah
kelulusan penerima beasiswa dan hanya diikat oleh klausul “kembali ke
Indonesia setelah menyelesaikan studi” pada kontrak. Kondisi yang cukup
“fleksibel” ini menjadi daya tarik tersendiri, terbukti dari jumlah
pelamar dan penerima beasiswa yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hal ini pun sejalan dengan target awal LPDP untuk meningkatkan rasio
lulusan pendidikan master dan doktoral terhadap jumlah penduduk, dimana
Indonesia sendiri masih tertinggal dengan negara tetangga di kawasan
ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia.
Jika target kuantitas telah terpenuhi, maka tantangan selanjutnya
adalah bagaimana memaksimalkan potensi sumber daya manusia tersebut
sesuai dengan kapasitas dan keahlian mereka, sesuai dengan roadmap
jangka panjang pembangunan negara. Namun tujuan di atas bukanlah hal
yang mudah, mengingat belum adanya arahan khusus dari pemerintah
mengenai keahlian apa yang dibutuhkan untuk menunjang rencana jangka
panjang tersebut. Hal ini diperparah pula dengan kenyataan bahwa
rata-rata keputusan seseorang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang
master maupun doktoral didasarkan pada personal intererst, yang dapat dirangkum menjadi tiga paradigma umum, yaitu:
- Keinginan untuk menekuni dunia akademik baik sebagai peneliti maupun dosen pengajar
- Terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan setelah menyelesaikan tingkat sarjana ketika proses seleksi pekerjaan belum selesai ataupun belum mendapat panggilan kerja
- Keinginan untuk menaikkan daya saing personal (bagi yang sudah bekerja) dalam menghadapi kompetisi kenaikan jabatan di dunia kerja dimana jenjang pendidikan merupakan salah satu faktor pertimbangan yang penting
Ketiga paradigma di atas memiliki nilai positif dan negatifnya
masing-masing. Poin pertama memiliki tingkat linearitas keilmuan yang
paling tinggi dibandingkan poin lainnya. Namun perlu diingat jika
kebutuhan posisi dosen pengajar, peneliti, ataupun jumlah universitas
yang ada lebih sedikit dibandingkan penambahan jumlah lulusan S2 maupun
S3, maka akan terjadi kondisi oversupply yang dapat berakibat negatif terhadap career path
di dunia akademik dan lembaga penelitian. Poin kedua berada pada posisi
yang cukup riskan, mengingat penerima beasiswa seperti ini dapat
“terjerumus” untuk terjun ke dunia akademik tanpa direncanakan maupun
mencoba untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan lulusan sarjana
karena sama-sama belum memiliki pengalaman kerja. Poin nomor tiga
memiliki risiko yang tergolong paling rendah mengingat mereka sudah
memiliki pengalaman kerja dan sudah lebih mengetahui kondisi pasar yang
ada.
Berdasarkan paparan di atas, sudah siapkah pasar kerja di Indonesia
menyerap seluruh potensi-potensi di atas? Mampukah kita keluar dari
paradigma di atas dan mulai merambah pemanfaatan expertise yang
sesuai dengan studi yang diambil para penerima beasiswa? Tulisan ini
akan memberikan ulasan singkat terkait ekspektasi pasar kerja terhadap
lulusan S2 dan S3 (di luar dunia akademik dan lembaga penelitian) dari
beberapa petinggi instansi-instansi yang berpengaruh di Indonesia,
seputar apakah mereka tertarik untuk merekrut lulusan minimal S2 dan
posisi apakah yang cocok dengan kualifikasi pendidikan tersebut.
Pengalaman Kerja Lebih Diutamakan Dibandingkan Level Pendidikan
“Tertarik sekali jika ada talent pool S2, apalagi link
nya sudah terbentuk tanpa harus jalur yang resmi (publikasi di linked
in / job street dsb - red). Sudah berpengalamankah?? Dapat diutilisasi
untuk keperluan tenaga ahli dan merancang grand design jangka panjang,” Andi Wibisono - Direktur SDM & Umum PTPN IV.
“Lulusan S2 sebaiknya sudah berpengalaman kerja, karena dengan begitu
mereka tahu jurusan yang mereka ambil untuk keperluan apa berdasarkan
apa yang mereka alami selama di dunia kerja, bukan hanya sekedar
ikut-ikutan saja atau meneruskan apa yang mereka ambil di S1,” Iman
Nugroho Soeko -Direktur Treasuri BTN.
“Untuk Oil and Gas, yang lebih ditekankan adalah pengalaman kerja. Lulusan S2 memang memiliki added value,
tetapi secara jalur masuk akan sama saja berdasarkan lamanya bekerja.
Dan yang disebut berpengalaman kerja minimal 5 tahun untuk oil and gas,” Tia Nastiti Ardianto - Senior Manager Talent Management Division Medco Energy.
“Boleh saja rekrut kualifikasi S2, tapi bukan di bidang teknis. Tidak
ada profesor sekalipun di Indonesia yang lebih tahu masalah
perkeretaapian daripada orang kereta api itu sendiri. Jadi level S2 yang
dicari lebih ke orang dengan kualifikasi dan pengalaman di bidang business development mengingat aset kereta api yang magnificent,” Vice President PT KAI.
“AECOM tertarik untuk merekrut lulusan S2, terutama ketika sang pelamar
telah memiliki pengalaman kerja. Posisi atau jabatan sesuai dengan
jurusan dan pengalaman kerja kandidat. Kami memiliki beberapa business lines (building & places, transportation, building engineering, environment, energy, water & urban development) dan masing-masing jabatan dari business lines tersebut memiliki persyaratannya,” Heryanti Aulia Dewi – Human Resources AECOM Indonesia.
"Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk merekrut karyawan yang berpengalaman karena sudah terbukti hasil kerjanya di dunia profesional, terlepas dari seberapa tinggi latar belakang pendidikannya. Sisi lainnya yang dapat dipetik adalah pola dan etos kerja karyawan yang berpengalaman sudah terbentuk, sehingga meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dalam hal pengembangan SDM perusahaan."
Lebih baik menyekolahkan pendidikan tinggi ke karyawan internal sesuai dengan kebutuhan perusahaan
“Kebutuhan lulusan S2 di Kementerian Keuangan (khususnya di Sekretariat
Jenderal) diperlukan hanya untuk lulusan S2 yang merupakan S2 profesi,
misalkan psikolog. Untuk lulusan S2 yang bukan profesi, tidak terlalu
dibutuhkan. Hal ini dikarenakan pimpinan merasa lulusan S2 tidak dapat
bekerja sesuai dengan harapan pimpinan. Oleh karena itu, pimpinan lebih
memilih melakukan rekrutmen lulusan S1 untuk dididik, kemudian
disekolahkan sesuai dengan bidang kerjanya, dan kemudian akan kembali ke
kantor untuk bekerja lebih baik,” Dini Kusumawati – Tenaga Pengkaji
Bidang Perencanaan Strategik Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Ulasan yang lebih menarik dikemukakan oleh salah satu psikolog yang memiliki spesialisasi di bidang talent management. Ada empat poin penting yang beliau sampaikan, yaitu:
- “Basic company itu kan bottom line nya selalu mengenai profit, jadi cost selalu ditekan. S2 umumnya meminta gaji lebih tinggi dari S1. Perusahaan berpikir jika bisa mendapatkan S1 yang dapat bekerja dengan bagus, kenapa harus hire S2 dengan cost yang lebih besar? Ini mungkin terkait juga dengan lulusan S2 yang belum dapat memberi perbedaan yang signifikan di dunia nyata pekerjaan.”
- "Efek competency based talent management membuat perusahaan lebih fokus ke kualitas kompetensi, bukan level edukasi.”
- "Perusahaan yang berbasis management trainee program untuk entry level merasa lebih bisa membentuk lewat program mereka sendiri daripada merekrut S2. Program tersebut terbuka untuk lulusan S1 maupun S2 tanpa ada perbedaan treatment tertentu."
- “Belum maksimalnya peran organisasi profesi. Ini berlaku pada profesi-profesi tertentu yang seharusnya diatur oleh organisasi profesi. Contoh yang baik adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi dokter yang betul-betul berfungsi mengontrol peran dokter. Namun untuk profesi lain seperti psikolog ataupun akuntan belum maksimal.”
Hal yang sama pun terjadi pula pada sebagian besar perusahaan minyak
dan gas (migas) yang menjadikan pengalaman kerja di lapangan sebagai
prioritas. Sebagai contoh, Pertamina telah memiliki program beasiswa
khusus untuk pegawainya, namun yang terpilih adalah mereka yang telah
memiliki pengalaman kerja. Di Chevron pun pekerja yang dapat beasiswa
juga telah bekerja selama 7 tahun, sehingga ketika sekolah sudah
diketahui orientasi kebutuhan studinya.
"Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk membuat program jangka panjang tersendiri di internal perusahaan dalam hal pelatihan dan pengembangan karyawannya. Dengan mekanisme seperti ini, mereka yakin bahwa kemampuan karyawan mereka adalah kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipetik dari kondisi ini adalah adanya potensi ketidakcocokan antara pengetahuan dan kemampuan yang diajarkan di dunia akademik (dalam hal ini pendidikan sarjana dan/atau politeknik) dengan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan perusahaan, sehingga perusahaan merasa perlu membuat sebuah pola pelatihan yang sesuai."
Perusahaan kami siap merekrut profesional untuk kualifikasi minimal S2
“Ya kami tertarik untuk merekrut lulusan S2 namun untuk S3 akan kami
lihat dulu apakah sesuai dengan ekspektasi kedua belah pihak (kandidat
dan perusahaan). Posisi yang cocok yaitu managerial level,” Indriarni Pramaningrum - Recruitment Specialist Unilever Indonesia.
“Ya, sebagai perusahan multinational company global, kami
pasti sangat tertarik merekrut lulusan S2 bahkan S3 untuk posisi
tertentu. Perusahaan kami sudah sangat siap menerima lulusan S2 maupun
S3 tersebut karena saat ini pun sudah banyak yang bekerja di perusahaan.
Posisinya bervariasi, namun untuk lulusan S2 biasanya minimal di level
manajer ke atas,” Ade Gustian Yuwono - Head of OTC Novartis Indonesia.
Perusahaan swasta seperti CIMB Niaga bahkan memiliki graduates program tersendiri dengan kualifikasi minimal S2. Perbedaan yang dimiliki program mereka dengan jalur management trainee pada umumnya adalah jalur fast track dan assignment yang lebih berbobot, sehingga kenaikan karir karyawan akan lebih cepat. Mereka pun menganggap persaingan dalam memperebutkan talent terbaik (talent war) sudah semakin sengit di Indonesia.
Berdasarkan review singkat di atas, sudah saatnya para pemangku kebijakan untuk mulai mengarahkan prioritas pengelolaan beasiswa dari kuantitas menjadi kualitas. Mereka sebaiknya duduk bersama dengan para petinggi perusahaan, akademisi, LPDP berserta alumninya untuk melakukan brainstorming dalam hal pemetaan grand design SDM Indonesia. Beberapa isu yang layak untuk dijadikan bahan diskusi karena menyangkut kebutuhan lintas sektoral adalah:"Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan swasta, terutama multinational company lebih siap terhadap pasar kerja dengan kualifikasi minimum S2. Mereka memiliki segregasi yang jelas dari segi assignment yang diberikan walaupun belum sepenuhnya menjamin perbedaan yang signifikan dari segi gaji dan benefit lainnya dari perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipetik dari kondisi ini adalah multinational company berpotensi memenangkan (lagi) talent war yang terjadi di Indonesia. Lalu, kemanakah BUMN dan perusahaan lokal lainnya dalam persaingan tersebut? Mampukah mereka beradaptasi dan mengumpulkan talenta-talenta terbaik bangsa untuk berkontribusi langsung terhadap pembangunan negeri?"
- Apakah terjadi mismatch keahlian dan skill antara dunia pendidikan dan dunia kerja?
- Apakah program studi mahasiswa saat proses seleksi beasiswa sudah sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan untuk pembangunan jangka panjang di Indonesia?
- Apakah memungkinkan adanya penambahan persyaratan pelamar beasiswa master dan doktoral dari segi pengalaman kerja?
- Apakah ada segregasi level pendidikan untuk berbagai posisi/jabatan di setiap institusi (universitas, BUMN, perusahaan swasta, lembaga penelitian, dsb)?
- Apakah perusahaan tertarik untuk membuka divisi Research and Development (R&D) internal?
- Apakah para lulusan sarjana telah berpikir matang terkait career path yang ingin ditempuh sebelum memutuskan untuk mengambil pendidikan master dan doktoral?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar